Selasa, 19 November 2013
Senin, 18 November 2013
sosok
Raden mas Soewardi Soerjaningrat itulah nama asli dari ki hajar dewantara lahir di yogyakarta , 2 mei 1889 beliau adalah pahlawan pendidikan indonesia, aktivis pergerakankemerdekaan indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi indonesia darizaman penjajahan belanda. Ia adalah pendiri Perguruantaman siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para kaum priyayi maupun orang-orang belanda.
Semboyan ciptaan beliau berbunyi “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan) Tanggal kelahirannya di peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional serta menjadi semboyan bagi kementerian pendidikan indonesia. Beliau dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden soekarno, pada 28 november 1959. Ki hajar dewantara berasal dari kaum ningrat keluarga kraton yogyakarta jenjang pendidikan beliau ELS(Sekolah Dasar Eropa/Belanda), Kemudian sempat melanjut ke STOVIA(Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Beliau juga seorang penulis serta wartawan di beberapasurat kabar, antara lain, sediotomo, midden java, De express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Ki hajar dewantara kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada
Beliau menutup usia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Banyak hal yang harus kita petik dari kerja keras dan semangat beliau sebagai kaum muda. Berjuang tanpa lelah semangat pantang menyerah dan kerja keras beliau hingga menghantarkan pendidikan yang lebih baik.
Opini Pendidikan
Oleh:
Andri Agus Susilo
Assalamu’alaikum
wr. Wb.
Cita – cita
luhur bangsa dan UUD 45 untuk mencerdaskan, mensejahterakan, dan ikut andil
dalam perdamaian dunia. Serta filosofi pancasila khususnya sila ke 2, 3 , dan
5, yang itu semua mencakup keadilan. Yang pada realitanya belum mampu
terimplementasikan dengan baik. Baik itu secara substansi maupun secara esensi.
Secara
esensi pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada realita yg
terjadi masyarakat khususnya pelajar yg ada di Indonesia menganggap bahwasannya
pendidikan ( sekolah ) adalah suatu cara untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan
mengejar selembar legalitas yg itu berupa ijazah untuk persyaratan dalam dunia
pekerjaan. Tanpa memunafikan suatu apapun, pola berfikir yang seperti inilah
yang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini. Melihat realita ini, sudah jelas
bahwa cita – cita luhur bangsa secara esensi belum mampu terimplementasikan dengan baik.
Secara
substansi, struktural di Indonesia memang jelas dan sistemnya pun baik. Namun
hal ini tidak d barengi dengan kondisi di lapangan. Coba kita bandingkan antara
pendidikan di kota dan di desa. Dalam hal ini banyak ketidak adilan yang
terjadi baik dari segi fasilitas maupun wacana. Fasilitas yang di maksud di
sini adalah berupa bangunan atau gedung, dan infrastuktur penunjang lainnya
yang itu bersifat mengembangkan. Pelajar berprestasi memang ada di semua
penjuru jika itu masih berada dalam lingkup kelompok kecil. Namun yang menjadi
tolak ukur adalah seberapa besar tingkat prestasi tersebut. Dan sampai mana
prestasi tersebut akan di bawa.Sedangkan dalam konteks infrastuktur sangatlah jelas berbeda. Secara kasat mata
pun kita bisa melihat perbedaan tersebut. Megahnya gedung pendidikan dan sarana
penunjang yang ada di kota hanyalah akan menjadi khayalan belaka bagi pelajar
yang ada di desa. Padahal sarana – sarana tersebut secara tidak langsung akan
menjadi alat untuk meningkatkan sebuah prestasi seorang pelajar.
Dalam hal
ini pemangku kebijakanlah yg menjadi sentral evaluasi. Namun jika hal itu tidak
di tanggapi secara serius, maka sampai kapanpun kondisi seperti inilah yang
akan terjadi. Kembali merujuk pada cita – cita bangsa, apakah akan terwujud
ataukah hanya akan menjadi puisi indah yang hanya bersifat motivasi. Tanpa sedikitpun
berusaha untuk mewujudkannya.
Bukan tanpa
usaha sebenarnya. Karena aktifitas pendidikan di bangsa ini pun memang sudah di
lakukan. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah maksud dari aktifitas ini. Terlalu
munafik saya pikir jika pendidikan di Indonesia saat ini murni untuk
mencerdaskan bangsa. Karena masih banyak tunas bangsa yang tidak bisa
bersekolah hanya karena tidak mampu membayar mahalnya biaya sekolah. Dan
mirisnya adalah ketika biaya sekolah yang itu berupa SPP sudah mampu teratasi,
namun masih banyak biaya – biaya lain yang menyulitkan seorang pelajar untuk
bersekolah.
Baik itu
berupa pungli dengan kedok uang pembangunan, univikasi, sampai deskriminasi
jika seorang pelajar tersebut tak mampu menuruti atau menentang kebijakan
tersebut. Biaya pembangunan, sudah jelas bahwa pembangunan infrastuktur itu di
biayai oleh pemerintah. Namun pada reaitanya masih banyak sumbangan – sumbangan
uang gedung. Dan univikasi tentunya. Dengan alibi kedisiplinan univikasi lancar
di lakukan. Sampai deskriminasi yang itu merupakan suatu pembodohan yang di
lakukan oleh orang – orang yang mengaku berintelektual.
Melihat
kondisi yang seperti ini sudah jelas bahwasaanya kemanusian yang terkandung
dalam pancasila ke 2 , persatuan di sila ke 3, dan keadilan pada sila ke 5
belum mampu terimplementasikan dari kelompok manapun yang ada di bangsa ini.
Sampai pada kesimpulan, bahwsanya masih jauh keinginan kita untuk mewujudkan
cita – cita luhur bangsa ini sebelum kita mampu menyelesaikan polemik yang
sebenarnya berada di dalam diri kita sendiri.
Semoga
dengan ini kita semakin termotivasi untuk mewujudkan cita – cita bangsa
Indonesia dengan di mulai dari dalam diri kita sendiri.
“ Singkirkan
kutu – kutu dan terbanglah garudaku “
Wallahul muwafieq illah aqwa mitorieq
Wassalamu’ alaikum wr. wb.
Ketua PK MT
Partai Politik dan Pendidikan Politik
Tahun 2013 2014 dalah tahun dimana pesta politik banyak
terselenggara baik di tingkatan pemilihan kepela desah daerah sampai keprovinsi
di jawa timur ini. Hal ini tentunya harus di imbangi dengan system pendidikan
politik dan budaya politik yang baik agar dapat mampu mengembalikan makna
politik yang positive dan masyarakat tidak tabuh dan terkesan risih apabila
berbicara tentang politik. Kita menyadari bahwasannya politik kita pada saat
ini berada dalam kondisi terpuruk, padahal partai politik adalah salah satu pilar utama
demokrasi. Lebih dari itu, kita sangat sependapat bahwa "wajah partai dan
politisi partai bisa jadi merupakan bagian dari carut-marut wajah bangsa".
Carut-marut wajah partai dan wajah bangsa itu adalah sebuah hasil proses
sejarah panjang bangsa kita karena tidak adanya pendidikan politik yang
berkualitas, khususnya sepanjang Orde Baru.
Tidak adanya pendidikan politik
Dulu pada masa orde baru demi
pembangunan ekonomi sebagai panglima, Orde Baru tidak hanya melakukan
pendekatan pragmatis di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik. Ada
beberapa hal yang dilakukan Orde Baru dalam kaitan dengan pragmatisme politik
demi menunjang pembangunan ekonomi. terjadi penyederhanaan dan pembatasan partai
politik dengan segala konsekuensinya, umumnya pada kehidupan demokrasi dan
secara khusus dalam kaitan dengan pendidikan politik. Dengan cara ini,
kebebasan berpartai, berorganisasi, dan kesempatan melakukan pendidikan politik
dalam kerja organisasi politik riil menjadi dibatasi dan dikebiri. Bahkan,
lebih dari itu, seluruh semangat demokrasi dimatikan karena tidak ada perbedaan
pandangan, saling kontrol antarpartai, tidak adanya pengajuan calon pemimpin
tandingan dan seterusnya, sebagaimana kita semua alami waktu itu. Itu dilakukan
demi pragmatisme ekonomi agar tujuan pembangunan ekonomi bisa dicapai tanpa
gangguan stabilitas politik oleh mekanisme demokrasi politik normal. Tapi pada
saat ini kebebasan berpolitik sangat
jauh berbeda ketika pada masa orde baru seharusnya partai polik melakukan apa
yang idealnya dikerjakan sebuah partai yang sehat, yaitu pendidikan politik
bagi para kadernya untuk menyiapkan dan mencetak calon pemimpin partai dan
pemimpin bangsa. Dan apa yang bisa
dilakukan untuk pendidikan politik kader partai dalam kondisi seperti ini? Stop
KKN itu adalah harga mati.
Budaya politik
Dalam konteks tidak adanya
pendidikan politik selama ini, kita lalu bisa memahami mengapa terjadi, tidak
hanya merosotnya etika dan moralitas politik, tetapi juga mengapa loyalitas
kepada pemimpin di pusat begitu kuat? Selain faktor strategi parpol demi
kepentingan bangsa dan daerah tertentu, harus kita akui bahwa di tengah tidak
adanya pendidikan politik yang sehat selama ini, memang budaya politik kita di
Indonesia masih budaya politik tradisionalisme.
Dalam budaya politik yang
tradisional itu memang figur pemimpin dan karisma jauh lebih kuat dan
menentukan dari pada segala mekanisme dan prosedur formal yang demokratis dan
profesional. Visi dan platform belum benar-benar menentukan, terutama juga
karena memang belum ditunjang oleh kader yang mampu dan profesional untuk
mewujudkan visi dan platform partai.
Loyalitas tradisional kepada
figur pemimpin ini tidak hanya terjadi secara internal dalam partai politik.
Ini terjadi pada diri bangsa secara keseluruhan. Dalam birokrasi kita, bahkan
dalam sektor swasta kita, termasuk di lembaga perguruan tinggi kita, budaya
tradisional seperti itu juga masih tetap saja terjadi. Pemimpin di birokrasi
dan di berbagai lembaga swasta kita pada akhirnya dianggap sebagai paling
menentukan, dan menentang pemimpin-kendati bawahan benar-dianggap sebagai dosa
yang akan mengakhiri jabatan dan bahkan karir seseorang.
Jadi, jalan kita masih panjang. Tapi, kita akan
bisa berhasil kalau kita sekarang menekuni secara serius pendidikan politik
itu, pendidikan untuk character building. Melalui pendidikan politik yang sehat
itulah diharapkan pula agar loyalitas tradisional kepada figur pemimpin bisa
digantikan atau diimbangi oleh loyalitas kepada nilai, visi, dan program partai
sesuai dengan aturan dan mekanisme yang demokratis.
Mengenang Gus Dur
'Suatu ketika KH. Zainal Arifin,
pengasuh PP. Al Arifiyyah Medono Kota Pekalongan ,diminta tolong oleh panitia
untuk menjemput Al Maghfurlah KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur untuk mengisi
sebuah acara akbar di Kota Pekalongan. Waktu itu panitia minta didampingi Kiai
Zainal untuk menjemput Gus Dur yang sedang mengisi acara pengajian di Semarang
Jateng. Seusai acara dan ramah tamah dengan para tamu, Gus Dur memutuskan untuk
ikut rombongan Kiai Zainal dan Panitia ke Pekalongan.
Waktu itu kurang lebih pukul 1
atau 2 dinihari. Kiai Zainal dan Panitia, setelah berbincang secukupnya dengan
Gus Dur, tahu diri mempersilahkan Gus Dur untuk Istirahat di mobil yang melaju
dengan tenang. Maklum, jalur pantura pada jam segitu juga sudah lengang.
Kita tahu Gus Dur kondisi
fisiknya terbatas, kesehatannya juga mulai menurun, serta jadwal juga padat.
Tentu saja sesuai logika norrmal, aktivitas ini akan menguras tenaga dan
pikiran Gus Dur. Tapi, alih-alih istirahat di dalam mobil yang melaju dengan
tenang tersebut, Gus Dur malah masih membaca Al-Qur'an dengan hafalan< Bil
Ghoib>.
Sementara itu, Kiai Zainal dan
panitia yang jelas secara fisik lebih sehat 100% dibanding Gus Dur sudah
kecapekan dan hampir terlelap, kaget ketika mendengar Gus Dur dengan suara
lamat-lamat 'mendaras' Al-Qur'an secara hafalan.
Kontan rasa kantuk Kiai Zainal
dkk hilang. Dengan penasaran Kiai Zainal dkk menyimak hafalan Gus dur. Tak
terasa 1 jam lewat. Sampailah rombongan itu di Pekalongan. Air mata Kiai Zainal
dkk tumpah ruah. Iia membayangkan orang yg selama ini sering disalahpahami
berbagai pihak, dicaci maki, dikutuk, dikafirkan, difitnah, dicemo'oh dst,
malam itu dengan kondisi fisik dan kesehatan yang sangat terbatas, dan
kelelahan yang luar biasa setelah hampir sehari semalam beraktifitas penuh dengan
berbagai kegiatan, malam itu dalam waktu 1 jam perjalanan Semarang-Pekalongan
ternyata masih 'menyempatkan' membaca Al-Qur'an dengan hafalan sampai 5 juz
lebih!
Apakah mereka yg
mengkafir-kafirkan beliau sanggup melakukan hal demikian? Subhanallah. Ternyata
ini salah satu kebiasaan Gus Dur jika berada di dalam perjalanan. Bukan seperti
kita, alih-alih baca al-Qur'an,berdoa saja kadang lupa,malah mendengarkan
musik.
Langganan:
Postingan (Atom)