a. Tujuan
Peserta mampu memahami sisi lain kampus di samping sebagai gelanggang akademis dan ilmu pengetahuan.
b. Pokok Bahasan
(1) Persebaran kekuatan politik mahasiswa di dalam kampus.
(2) Variasi tipologi mahasiswa dan pengelompokkannya.
(3) Hubungan kampus dengan politik.
c. Metode : Ceramah dan dialog
d. Waktu : 120 menit
e. Peralatan
(1) Spidol besar
(2) Kertas plano
(3) Makalah
f. Pemandu : Moderator
g. Proses Kegiatan
(1) Orientasi materi dan pengenalan Narasumber oleh Moderator 5 menit
(2) Presentasi Materi 45 menit
(3) Dialog 60 menit
(4) Penyimpulan oleh Moderator 10 menit
h. Ringkasan
Kampus boleh dikatakan miniatur negara. Di dalamnya ada politik dan budaya yang bermacam-macam. Kampus tidak dapat difahami hanya sebagai gelanggang akademis dan ilmu pengetahuan, karena nyatanya memang tidak demikian. Kampus terlibat dalam proyek dan pembangunan melalui pemberian legitimasi ‘ilmiah’. Terlebih ketika kampus-kampus negeri mulai berstatus BHMN. Sementara mahasiswa memiliki tipologi yang beragam, dari mahasiswa religius, hedonis, aktivis, study-oriented dan lain sebagainya. Sebagai sebuah gelanggang semi terbuka, kampus merupakan tempat potensial bagi kader PMII untuk mengasah mental dan pengalaman kepemimpinan melalui pengenalan mendalam terhadap kehidupan nyata kampus.
ANTROPOLOGI KAMPUS
Universitas
adalah tempat untuk memahirkan diri kita,
bukan saja
di lapangan technical and managerial know how,
tetapi
juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita,
di
lapangan ideologi, di lapangan pikiran.
Jangan
sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
***
(Soekarno,
Kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung, 1958).
A. PENDAHULUAN
Kampus
boleh dikatakan miniatur negara. Di dalamnya ada politik dan budaya yang
bermacam-macam. Kampus tidak dapat difahami hanya sebagai gelanggang akademis
dan ilmu pengetahuan, karena nyatanya memang tidak demikian. Kampus terlibat
dalam proyek dan pembangunan melalui pemberian legitimasi ‘ilmiah’. Terlebih
ketika kampus-kampus negeri mulai berstatus BHMN.
Sementara
mahasiswa memiliki tipologi yang beragam, dari mahasiswa religius, hedonis,
aktivis, study-oriented dan lain sebagainya. Sebagai sebuah gelanggang semi
terbuka, kampus merupakan tempat potensial bagi kader PMII untuk mengasah
mental dan pengalaman kepemimpinan melalui pengenalan mendalam terhadap
kehidupan nyata kampus.
B.
KAMPUS DAN NORMA KAMPUS
1.
Pengertian Kampus
Kampus, berasal dari bahasa Latin; campus yang berarti
"lapangan luas", "tegal". Dalam pengertian modern, kampus
berarti, sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan kumpulan
gedung-gedung universitas atau perguruan tinggi. Bisa pula berarti sebuah
cabang daripada universitas sendiri. Misalnya, Universitas Indonesia di
Jakarta, yang memiliki 'kampus Salemba' dan 'kampus Depok', atau Universitas
Diponegoro yang memiliki 'kampus Pleburan’ dan ’kampus Tembalang’, atau pola
IAIN yang dulu mempunyai banyak cabang di daerah yang sekarang berubah menajdi
STAIN, atau seperti yang sekarang dijalani UWH Semarang yang mempunyai banyak
cabang di daerah.
Kampus juga terkadang menyediakan asrama untuk mahasiswa.
Di Inggris dan banyak negara jajahannya seperti Amerika Serikat dan lain-lain,
sebuah kampus terdiri dari universitas atau sekolah dengan asrama atau tempat
kos atau pondok para mahasiswa. Di sana sebuah gedung sekolah berada di
kompleks yang sama dengan gedung penginapan. Di Indonesia hal-hal seperti ini kadang-kadang
ada pula, terutama di tempat akademi militer, dan sekarang mulai dilakukan pula
oleh beberapa kampus besar seperti UI, Undip, dan IAIN, dengan mendirikan
asrama di sekitar kampus akan membuat mahasiswa lebih banyak mengabiskan
waktunya untuk studi dan mudah dikontrol oleh pihak kampus.
Kampus
merupakan tempat belajar-mengajar berlangsungnya misi dan fungsi perguruan
tinggi. Dalam rangka menjaga kelancaran fungsi-fungsi tersebut, Ubaya sebagai
lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi,
memerlukan penyatuan waktu kegiatan beserta ketentuan-ketentuan di dalam
kampus.
Dalam hubungannya dengan mahasiswa, rektorat membentuk
sistem yang mengatur posisinya dengan mahasiswa, dari mulai stuktural,
birokrasi sampai kepada norma-norma yang diciptakan sesuai dengan kondisi
sosial yang ada, misalnya pada kampus berlatar Islam tentunya ada adat-adat
yang harus bernafaskan Islam, dsb. Dan, begitu pula halnya pada hubungan antara
mahasiswa dengan mahasiswa.
2.
Norma Akademik (Etika Kampus)
Norma
akademik adalah ketentuan, peraturan dan tata nilai yang harus ditaati oleh
seluruh mahasiswa Ubaya berkaitan dengan aktivitas akademik. Adapun tujuan
norma akademik adalah agar para mahasiswa mempunyai gambaran yang jelas tentang
hal-hal yang perlu dan/seharusnya dilakukan dalam menghadapi kemungkinan
timbulnya permasalahan baik masalah-masalah akademik maupun masalah-masalah non
akademik.
Masalah
akademik adalah masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan kurikuler,
Masalah non akademik adalah masalah yang terkait dengan kegiatan non kurikuler.
Sedangkan Pelanggaran adalah perilaku atau perbuatan, ucapan, tulisan yang
bertentangan dengan norma dan etika kampus. Etika kampus adalah ketentuan atau
peraturan yang mengatur perilaku/atau tata krama yang harus dilaksanakan oleh
mahasiswa Ubaya. Etika kampus meliputi 2 hal penting yaitu ketertiban dan tata
krama.
Setiap
lembaga pendidikan atau kampus biasanya mempunyai menentukan norma akademik
(etika kampus) masing-masing sesuai dengan status kampusnya, misalnya, kampus
negeri umum yang menginduk ke Dirjen Dikti Diknas RI, di samping terikat oleh
aturan yang dibuat oleh Dirjen Dikti tersebut. Demikian juga kampus yang dalam
koordinasi Dirjen Dikti Agama Islam Depag seperti kampus UIN, IAIN dan STAIN,
juga mengikuti aturan ketentuan norma akademik yang dibuat oleh Depag. Sama
halnya dengan kampus swasta milik NU seperti UWH atau STAINU yang berada dalam
koordinasi APTINU (Asosiasi Perguruan Tinggi NU) juga mengikuti aturan norma
akademik diatur oleh APTINU, di samping juga mengikuti aturan Dirjen Dikti dan
aturan internal kampus yang biasanya disusun oleh pimpinan kampus.
Dalam
kehidupan perkuliahan, mahasiswa cenderung memiliki sikap aktualisasi dan
apresiatif. Yakni sikap atau tindakan unjuk kemampuan dan kehebatan sesuai
bakat serta karakter pribadinya masing-masing. Hal ini merupakan sisi positif
yang dimiliki oleh seorang mahasiswa. Sehingga diperlukan adanya sebuah sarana
dan prasarana dalam menyalurkan bakat dan kreatifitas mereka dan nantinya
diharapkan menjadi suatu hal yang produktif dalam meningkatkan pembangunan dan
pendidikan negeri ini. Aktualisasi ini bisa berupa bidang olahraga dan seni,
kepemimpinan, religi, hingga dana usaha yang mendukung perekonomian kampus
menuju kampus yang mandiri. Sumber daya ini begitu sia-sia ketika pihak
birokrat kampus tidak memanfaatkannya dengan baik, bahkan melakukan tindakan
‘pembunuhan karakter’ kepada mahasiswa. Padahal SDM seperti inilah yang
nantinya mampu melakukan akselerasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Paling tidak, negara secara tidak langsung diuntungkan dengan
berbagai macam potensi anak-anak bangsa yang artinya kaya dengan SDM.
C.
TIPOLOGI MAHASISWA
Ada kampus
pasti ada civitas akademika, baik rektor, pembantu rektor, dekan, dosen,
pegawai, dan mahasiswa. Semua civitas akademika tersebut satu sama lainnya
saling terkait. Mahasiswa sebagai komponen utama (karena jumlahnya lebih
banyak ketimbang yang lainnya) sangat penting duperhatikan bagi denyut nadi
kampus. Mahasiswa datang dari berbagai penjuru daerah tentu mempunyai latar
belakang dan karakter yang berbeda-beda.
Sebagai mahasiswa, mayoritas anggota baru PMII perlu
memahami berbagai jenis tipologi mahasiswa, dan kira-kira ingin menampatkan
dirinya dalam tipe seperti apa. Kita meconba melakukan klasifikasi atas
tipologi mahasiswa, walau ini tidak bersifat paten karena setiap diri kita bisa
membuat tipologi sesuai dengan yang kita lihat dan rasakan. Anda sendiri bisa
memegang dua katagori atau tiga bahkan empat sekaligus dari tipologi yang kitra
susun ini. Bahkan mungkin masih membuka munculnya jenis tipologi lainnya. Yang
penting semoga Anda bisa berguna bagi diri Anda sendiri dan bagi orang lain
dalam lingkungan kehidupan keluarga, organisasi dan masyarakat.
1.
Mahasiswa Pemimpin
Tipikal
mahasiswa seperti ini selalu terlihat mencolok dan aktif dibandingkan mahasiswa
lainnya. Hidupnya di perkuliahan sangat bervariatif –diisi dengan berbagai
kegiatan, dan ia tidak hanya belajar dari kuliah semata, namun juga belajar
dari lingkungan. Ia akan aktifg di organisasi, baik intra maupun ektra kampus.
Biasanya –tapi tidak mengikat- tipe mahasiswa seperti ini tidak memiliki
keinginan yang besar untuk lulus terlalu cepat, karena ia mencari pengalaman
sebanyak-banyaknya untuk menjadi pemimpin di masa depan. Cita-citanya, biasanya
ingin menjadi pemimpin perusahaan, lurah, bupati, DPR, menteri, bahkan
presiden.
2.
Mahasiswa Pemikir
Tipikal
mahasiswa jenis ini selalu berpikir dan terus berpikir. Hobinya membaca buku,
diskusi dan menulis. Terkadang orang jenis ini –karena terus belajar- tanpa
menghiraukan sekitarnya, agar bisa mendapatkan jawaban atas apa yang
dipikirkannya. Biasanya tipe mahasiswa seperti ini jika telah lulus ingin jadi
ilmuwan, peneliti, dosen atau akademisi.
3.
Mahasiswa Study Oriented
Tipikal
mahasiswa jenis ini selalu rajin masuk kuliah dan melaksanakan tugas-tugas
akademik. Mahasiswa jenis ini tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di kampus.
Pokoknya yang penting mendapatkan nilai bagus dan cepat lulus.
4.
Mahasiswa Hedonis
Tipe
mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, tidak mau aktif di organisasi. Ia
selalu menjalani kehidupan dengan hedonis, glamour, dan happy-happy. Kalau ke
kampus sering memakai pakaian yang norak, memakai mobil, dan nongkorong di
mall, kafe, dan tempat hiburan lainnya.
5.
Mahasiswa Agamis
Tipikal
mahasiswa seperti ini kemana-mana selalu membawa al-Qur’an, berpakaian ala
orang Arab, tampil (sok) islami, menjaga jarak terhadap lain jenis yang tidak
muhrim.
6.
Mahasiswa K3 (Kampus, Kos dan Kampung)
Tipikal
mahasiswa seperti ini kesibukanya hanya K3, yaitu kampus, kos dan kampung.
Kalau tiba jam kuliah ya berangkat kuliah, kalau selesai pulang kos, atau ada
waktu cukup pulang kampung.
7.
Mahasiswa Santai Semaunya Sendiri
Tipe
mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, selalu menjalani kehidupan apa
adanya. Enjoy aja! Biasanya tipikal mahasiswa seperti ini aktif di bidang seni
dan olahraga. Dia tidak terlalu memikirkan kuliah, karena yang penting dalam
hidupnya adalah santai. Biasanya mahasiswa seperti ini lama sekali lulusnya,
karena nilainya juga santai.
8.
Mahasiswa Mencari Cinta
Tipikal
mahasiswa seperti ini tiada terlalu memikirkan kuliah, tetapi yang
dipikirkannya adalah CINTA. Yang penting baginya adalah mendapatkan pacar yang
setia. Lulus kuliah cepet-cepet menikah.
9.
Mahasiswa Jomblo Unsold
Tipe
mahasiswa seperti ini terkadang dianggap terlalu menyedihkan, karena tiada
laku-laku (unsold).
Tapi terkadang mahasiswa memilih jomblo bukan karena tidak laku, tetapi karena
ia memang tidak ingin berpacaran demi meraih cita-citanya di masa depan.
10.
Mahasiswa Usil
Tipikal
mahasiswa seperti ini sangat senang apabila orang lain menderita. Contohnya
sebelum dosen masuk kelas, ia akan mengganti kursi dosen dengan kursi yang
rusak biar dosennya patah tulang, atau sebelum dosen masuk, ia menulis kertas
di pintu kelas bahwa perkuliahan di kelas hari ini dibatalkan.
11.
Mahasiswa Tak Jelas
Tipikal
mahasiswa seperti ini tak bisa dikategorikan, karena terkadang ia seperti
pemimpin, terkadang seniman, terkadang pemikir, terkadang santai, terkadang
pecinta, terkadang usil, dll. Terkadang aktif keliatan terus, terkadang lenyap
hilang entah ke mana.
12.
Mahasiswa Anak Mami
Tipikal
mahasiswa seperti ini selalu pulang di akhir pekan, takut kalau mamanya marah.
Ia kuliah demi menyenangkan hati maminya. Kebanyakan tipikal seperti ini tidak
menikmati perkuliahannya, karena jurusan perkuliahannya itu pilihan dari sang
ibunda, bukan dari kehendak hatinya. Kebanyakan tipe kuliah seperti ini putus
di tengah jalan, tetapi semoga kamu tidak!
13.
Mahasiswa Apa Mahasiswi
Sudah
jelas sekali bahwa tipikal mahasiswa seperti ini memiliki dua kepribadian, yang
pertama wanita yang kedua pria. Orang-orang biasa menyebutnya banci, tidak
punya karakter yang jelas.
14.
Mahasiswa Gadungan
Tipe ini
sebenarnya bukan mahasiswa, tetapi karena ingin terlihat seperti mahasiswa,
maka ia sering nongkrong-nongkrong di kampus orang. Biasanya ia punya tujuan
tertentu, seperti mencari seorang cewek idaman atau mau memasang bom di kampus
orang.
15.
Mahasiswa Monitor
Mahasiswa
seperti ini selalu berhadapan dengan komputer, sampai-sampai mukanya sudah
berevolusi seperti monitor. Matanya sudah sebesar mouse, dan rambutnya sudah
tak terurus seperti kabel USB atau RJ-45. Biasanya tipikal mahasiswa seperti
ini hobi chatting dan mendapatkan kebutuhannya dari internet. Tetapi mahasiswa
seperti ini bagus juga, karena ia tak bakal ketinggalan zaman deh.
16.
Mahasiswa Abadi
Jelas, mahasiswa jenis ini paling betah di kampus, yang di
kuliahnya di atas semester 10 tapi masih santai-santai dan belum mikir lulus.
D. UU BADAN
HUKUM PENDIDIKAN DAN NASIB RAKYAT
Sejak disahkan PP No. 61 Tahun 1999 tentang Rencana BHMN Perguruan
Tinggi Negeri, lalu direalisasikan dengan PP BHMN kampus UI, ITB, IPB, UGM, UPI, USU,
dan UNAIR. Sebagian besar mahasiswa, praktisi, dan pengamat pendidikan secara
tegas sudah menolaknya. Kampus-kampus ini kemudian mendapatkan bantuan dana
dari lembaga donor seperti Islamic Development Bank (IDB) untuk membangun
kampus yang megah dengan fasilitas yang diperlengkap dan dipercanggih. Banyak
gedung baru berdiri megah yang meliputi gedung-gedung kuliah, sport hall,
asrama mahasiswa, pusat informasi universitas, masjid, poliklinik, gedung
pascasarjana, dan bahkan ada yang membangun gedung pusat bisnis (business
centre). Pembangunan gedung-gedung dan fasilitas kuliah secara
besar-besaran oleh kampus-kampus itu disebut-sebut oleh para pejabat
universitas sebagai istilah modenisasi kampus. Sebagai kampus yang menginginkan
good governance, ketersediaan dan kelayakan fasilitas menjadi sebuah syarat
mutlak, ditambah fungsi profesionalisme pelayanan dan birokrasi, serta
akuntabilitas dan transparasi kebijakan.
Penolakan kembali
muncul ketika Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) disahkan.
Penolakan itu adalah sikap dan bukti kepedulian terhadap masyarakat miskin yang
akan menjadi korban yang kemudian semakin teralienasi dan termarjinalisasi oleh
sistem. Sehingga,
UU BHP memicu kontroversi dari berbagai kalangan. Di satu sisi, undang-undang
ini dipandang dapat menjadi penaung spirit otonomi yang selama ini diinginkan
oleh dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Namun di sisi lain, banyak
pihak khawatir undang-undang ini justeru akan mendorong terjadinya praktek
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi.
Tanpa bermaksud mencederai
spirit otonomisasi dalam pengelolaan pendidikan formal yang terkandung dalam UU BHP dan menisbikan kekhawatiran akan
timbulnya komersialisasi-liberatif di tubuh lembaga pendidikan khususnya
pendidikan tinggi. Benarkah spirit otonomisasi dalam UU BHP ini dimaksudkan
untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UUD 1945
(sebagaimana dinyatakan dalam konsideran menimbang huruf a) atau justeru
mendelegitimasi (tidak mengakui) hak-hak konstitutional warga negara terutama
kalangan tidak mampu (disadvantaged groups) dan terpinggirkan (marginalized
groups) untuk mengenyam pendidikan yang dijamin dalam UUD 1945?
Bahasa lain dari UU BHP adalah liberalisasi pendidikan. Hal
yang paling tampak dari liberalisasi pendidikan adalah semakin terbukanya
peluang bagi peran-peran swasta terutama perusahan-perusahaan korporasi baik
lokal maupun asing untuk ikut mengelola pendidikan. Maka, tidak aneh kalau di
dalam kampus itu muncul banyak unit-unit usaha yang didanai oleh perusahaan
swasta, misalnya berdirinya mal di kampus atau unit usaha lainnya yang sejenis,
semakin banyaknya projek penelitian, pengadaan teknologi internet, dan
lain-lain yang sangat akrab dengan uang.
Selain itu, liberalisasi pendidikan telah menyuguhkan watak
glamor di dunia kampus. Geliat pembangunan kampus bukanlah berangkat dari
kebutuhan untuk penyediaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan seperti
yang diharuskan dalam konstitusi, tetapi lebih berorientasi pada tuntutan
neoliberal, yakni tuntutan bisnis. Bisnis itu membutuhkan kerelaan untuk
mengakomodasi budaya baru yang diciptakan neoliberalisme.
Gagasan liberalisasi
pendidikan lahir dari teori modernisasi yang telah dipraktikkan di
negara-negara bersistem kapitalis, di mana negara mengakui bahwa negara
berjalan linear dari tradisional menuju ke arah modernisasi. Oleh beberapa
pemikir, modernisasi ini dicapai dengan beberapa cara, Harrod Domar menekankan
aspek ekonomi dengan teori tabungan dan investasi, di mana pembangunan
masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi.
Dari situ jelas ada kecenderungan negara melepas
tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi, telah berdampak makin
sulitnya orang miskin untuk mengakses pendidikan tinggi karena tidak kuat
bayar. Menurut Darmaningtyas (2009), ada
beberapa alasan mengapa pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam
pengelolaan pendidikan dan menyerahkan ke publik. Pertama, adanya
tekanan dari IMF untuk mengurangi subsidi bidang pendidikan maupun kesehatan. Kedua,
perubahan cara pandang negara terhadap pendidikan dari sebagai hak asasi yang
melekat pada diri setiap warga menjadi sebuah kapital yang dapat diperdagangkan
dan menguntungkan.
Apa dampak
dari UU BHP tersebut? Akibat kebijakan itu, sudah menjadi rahasia umum kalau
biaya pendidikan semakin mahal. Tentu saja akan membuat beaya kuliah lebih
mahal akan sangat merugikan rakyat. Padahal dalam UUD 45 dinyatakan bahwa
negara berkewajiban memberikan pendidikan yang layak kepada warga negara. Ditambah
lagi dengan dibukanya jalur-jalur khusus di luar SPMB dan PMDK atau jalur
mandiri universitas. Wacana jual beli pendidikan pun merebak di mahasiswa.
Namun, wacana itu terus mengempis seiring dengan semakin mapannya diskursus
modernisasi. Mahasiswa seakan tidak boleh lari dari arus itu.
Dengan
fasilitas yang lebih lengkap dan canggih, serta regulasi-regulasi baru, semakin
dijadikan pembenaran atas terciptanya kultur kosmetik di kampus. Sebuah kultur
yang semakin menambah deret kelam modernisasi. Apakah itu? Yang sangat konkret
dapat kita lihat dari mode dan tren budaya teranyar yang dikenakan mahasiswa
baru. Budaya itu meliputi orientasi, SDM, serta tindakan ekonomi. Mahasiswa,
misalnya, sebagian ada yang menjadikan kuliah sekadar untuk prestise, atau kongkow-kongkow
mencari teman, atau pamer pakaian dengan model terbaru. Di kalangan aktivis,
budaya glamor juga ditunjukkan dengan semakin banyaknya rapat-rapat aktivis di
hotel, kafe, atau restoran bersama para elite politik atau bahkan dengan
pengambil kebijakan. Dengan kesejatian realitas itu, apakah kita masih
optimistis dengan modernisasi kampus? Di situlah kritik kita terhadap dampak UU
BHP.
E. KAMPUS
SEBAGAI MINIATUR NEGARA
Kampus
adalah miniatur negara. Tentu hal ini tidaklah berlebihan, kita bisa melihat
dari segi penyebaran mahasiswa, kampus menghadirkan peserta didik dari berbagai
unsur suku, ras dan agama yang ada di negara ini. Dari segi intelektualitas,
kampus juga menghadirkan ribuan calon pemimpin yang akan mengisi kursi-kursi
kosong kepemimpinan bangsa ini. Bisa diibaratkan, kampus adalah ruang
kaderisasi bangsa. Masa depan nasib bangsa ditentukan oleh kampus karena di
situlah banyak dididik berbagai pengetahuan dan skil (termasuk karakter dan
mentalitas) generasi muda bangsa yang kelak menjadi pemimpin di tengah –tengah
masyarakat.
Sebagai miniatur negara yang dimana didalamnya terdapat
banyak perangkat yang satu sama lain saling mendukung, maka di dalam kampus
juga memiliki pemerintahan dan rakyat, baik itu antara rektorat dengan
mahasiswa ataupun antara mahasiswa dengan mahasiswa. Oleh
karenanya, kita akan menemukan berbagai kelompok yang ada akan selalu bertaruh
dalam memperebutkan eksistensinya di dalam kampus. Dari level rektorat,
dekanat, dosen, pegawai akademik, mahasiswa hingga tukang sapu akan terlibat
dalam arena perebutan kekuasaan. Bisa dikatakan kampus adalah miniatur basis
produksi, distribusi dan pertarungan negara.
Benturan-benturan
ideologi antar gerakan mahasiswa pun akan terjadi di kampus sehingga menjadikan
kehidupan kampus menjadi sangat kondusif bagi kontentasi semua kelompok
sehingga keberadaannya akan merepresentasikan iklim demokrasi di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa perubahan-perubahan mendasar di negara ini juga
berangkat dari komunitas-komunitas intelektual kampus. Hal inilah yang kemudian
melabelisasi kampus sebagai laboratorium demokrasi Indonesia.
Sistem pemerintahan dibangun berdasarkan kebutuhan
dimasing-masing kampus. Keberadaan BEM (Badan Ekskutif Mahasiswa) atau Senat
Mahasiswa dengan menempatkan Presiden Mahasiswa-nya (Presma) atau istilah lain (karena
tiap kampus berbeda) sebagai mahasiswa nomor satu di kampus adalah salah satu
cerminan dari penataan sebuah kehidupan (kampus). Maka, sangat tidak menarik apabila sebuah kampus
hanyalah dijadikan tempat perkuliahan, kalau begitu apa bedanya dengan SD, SMP
ataupun SMA? Berarti mahasiswa akan semakin jauh dengan hal-hal yang bersifat
sosial, kondisi real yang akan di hadapi oleh mahasiswa selepas kuliah. Semangat ini pula yang kemudian dimaknai oleh gerakan mahasiswa sebagai
wadah untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka dengan ikut aktif
berpartisipasi dalam, misalnya, PEMIWA (Pemilu Mahasiswa, atau istilah
lainnya), untuk memilih pemimpin kampus (BEM/DEMA/SEMA). Pemiwa
akan menjadi momentum mengakselerasi perubahan-perubahan yang dianggap penting
oleh gerakan mahasiswa dengan segala karakteristik perjuangannya.
Saat ini,
sistem Pemiwa di beberapa kampus dilakukan dengan pemilihan langsung. Ada di
antaranya dengan cara mengharuskan mahasiswa membentuk partai mahasiswa sebagai
kendaraan politik untuk mengajukan calon-calon mereka duduk di lembaga
eksekutif atau lembaga legislatif mahasiswa (BEM/DEMA/SEMA/DPM). Partai
mahasiswa yang diharapkan merupakan representasi dari kepentingan-kepentingan
komunal mahasiswa yang harus diperjuangkan.
Partai
mahasiswa tidak sekadar menjadi syarat administratif untuk bisa berpartisipasi
dalam Pemiwa yang hadir ketika Pemiwa akan berlangsung, tetapi juga bisa
menjalankan fungsi-fungsi partai yang seharusnya untuk memberikan pendidikan
dan pencerdasan politik bagi mahasiswa umum sebagaimana tertuang dalam AD/ART
partai mahasiswa. Mereka yang terpilih sebagai pimpinan BEM/DEMA/SEMA/DPM harus
bisa merepresentasikan kepentingan mahasiswa umum sebagai konstituen di suatu
daerah pemilihannya (biasanya tiap fakultas atau jurusan). Jangan sampai
ketidakprofesional pimpinan lembaga intra kampus membuat mahasiswa jenuh
terhadap sistem yang berlangsung di kampus. Karena itu, perlu adanya dinamisasi
sistem dengan membuka ruang kesempatan bagi siapa saja untuk berpatisipasi
dalam pengembangan kehidupan lembaga intra kampus.
Sebagai miniatur negara, di samping berisi lembaga politik intra kampus,
juga terdapat berbagai lembaga pengembangan bakat minat yang dikenal Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti lembaga penerbitan, lembaga olahraga, lembaga
seni budaya, lembaga bahasa, lembaga pecinta alam, lembaga perekonomian
koperasi mahasiswa, dan lain-lain. Keberadaan
Pers Mahasiswa menjadi pelengkap yang ikut mencerminkan sebuah Negara (miniatur
negara). Pers bisa melakukan kritik dan pencerdasaan mahasiswa dengan wacana
dan informasi yang disampaikan. Atas berbagai komponen dan dinamisasi yang ada
tersebut itulah maka kehidupan kampus sepenuhnya bukan hanya terpaku pada
kegiatan akademik, seperti perkuliahan ataupun aplikasi-aplikasi lain yang
berkaitan dengan kuliah.
Adanya demonstrasi ataupun perebutan kekuasaan
di kampus bukanlah hal yang harus dipertentangkan, karena dengan adanya
dinamika seperti itu mencerminkan bahwa mahasiswa peka terhadap berbagai
realitas yang ada. Mahasiswa tidak harus manut-manut di hadapan dosennya
walaupun ada kesalahan dalam kinerja sang dosen. Mahasiswa tidak mesti berdiam
diri ketika melihat ataupun mendengar sebuah ketidak beresan dalam
lingkungannya. Demonstrasi atas kenaikan BBM, tarif dasar listrik, dll adalah
bukti bahwa Mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat.
Kampus
yang dikenal sebagai miniatur negara, merupakan tempat berkumpulnya pemuda dari
pelosok daerah dengan segala perbedaan dan bentuk sosial, tentunya juga beragam
potensi. Ketimpangan sosial yang terjadi dalam kampus adalah cerminan dari
kesenjangan sosial di masyarakat. Berhasil tidaknya ideologi yang diterapkan
negara dapat dilihat di kampus. Begitu juga ketika kita harus mensensus
seberapa besar kepedulian masyarakat terhadap kondisi negara, maka lihatlah di
kampus kita masing-masing, sejauh apa mahasiswa turut andil dalam dinamisasi
pergerakan lembaga kemahasiswaan. Mahasiswa yang dikatakan sebagai sumber
cadangan pemimpin masa depan bangsanya, kini menjadi tumpuan masyarakat dalam pengolahan
dan manajemen kekayaan negara. Tidak hanya itu, tanggung jawab penuh juga
diserahkan kepada mahasiswa dalam melakukan pengawasan jalannya roda
pemerintahan. Karena disamping fungsi kontrol dan pressure terhadap pemerintah,
mahasiswa tentunya dituntut mampu memberikan solusi dari berbagai permasalahan
bangsa.
Dewasa
ini, keberadaan lembaga intra kampus seolah-olah meredup seiring mulai
stabilnya kondisi pemerintahan secara struktural. Nyatanya di lapangan masih
saja terdapat kesenjangan sosial yang terjadi di tingkatan masyarakat umum,
seperti data yang di laporkan oleh MenkoKesra Aburizal Bakrie tahun 2006 lalu
yang menunjukkan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis
kemiskinan dengan pendapatan perkapita dibawah Rp. 500.000,-, yang dengan
anggaran tersebut mereka harus mampu menghidupi keluarga serta kebutuhan hidup
lainnya.
Meskipun
lembaga kemahasiswaan tidak memiliki wewenang khusus dalam menangani masalah
ini namun perlu disadari bahwa lembaga inilah yang nantinya berperan dalam
mengelola potensi SDM dalam memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat. Untuk
itu, lembaga-lembaga ini perlu sekiranya mendapat perhatian khusus oleh
pemerintah dan birokrat kampus khususnya oleh mahasiswanya sendiri. Paling
tidak bentuk perhatiannya bisa berupa pemberian fasilitas yang mendukung dan
diserahkan sepenuhnya terkait pengelolaan kepada mahasiswa. Hingga berupa
pembinaan secara intensif terkait hal-hal yang dianggap mampu menunjang
peningkatan skills mahasiswa. Karena dikhawatirkan ketika hal ini tidak
dilakukan akan terjadi “Lost Generation”, akhirnya menyebabkan stagnasi gerakan
mahasiswa. Dimana saat pemain veteran sudah meninggalkan dunia kampus, akhirnya
tidak ada yang meneruskan perjuangan perubahan oleh mahasiswa baik dalam
struktural maupun olah pemikiran.
Bagaimana
mungkin dinamisasi kampus akan terjadi tanpa adanya peran aktif dari mahasiswa.
Sementara lembaga ini didirikan dan difasilitasi untuk mahasiswa,ironisnya
justru mahasiswa yang buta dalam pengelolaan lembaga ini, kelak akan menjadi
fenomena gerakan mahasiswa khususnya internal kampus ketika mahasiswa ‘mati’
bersama cita-cita perubahannya.
F. PMII
DAN REKAYASA KAMPUS
Dunia perpolitikan mahasiswa yang tak pernah lepas dari wilayah kampus
membuat PMII mau atau tidak mau akan terlibat dalam pusaran rebutan kekuasaan
kampus. Meskipun diakui ataupun tidak, mahasiswa pada umunya cenderung bersikap
apolitis dengan berbagai isu kebijakan birokrat kampus dan para pejabat
mahasiswa, namun tetap saja mahasiswa berpolitik dalam arti yang lebih luas. Dikarenakan
politik memiliki lingkup yang menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan,
tergantung sudut pandang masing-masing.
PMII
sebagai organisasi ekstra kampus membina dan mendistribusikan kader-kadernya
untuk aktif dalam lembaga-lembaga kampus, bahkan akan mendorong kadaer-kader
terbaik memimpin lembaga-lembaga tersebut. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut,
bagi PMII adalah sebagai ruang distribusi kader karena di lembaga tersebut
kader PMII bisa menempa dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya agar lebih
maju dan profesional.
PMII
memandang lembaga intra kampus sangat strategis sebagai wahana kaderisasi. Pada
umumnya, ada beberapa jenis lembaga kampus yang memiliki otoritas tertentu
dalam mengayomi kampus dan mahasiswa, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
Himpunan Mahasiswa Fakultas/Jurusan (HMF/J) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Lembaga-lembaga tersebut bermain dalam wilayah internal kampus dan
kepengurusannya berisikan mahasiswa yang tercatat masih aktif program studinya.
Secara umum ke tiga jenis lembaga ini memiliki andil penting dalam rekayasa
kampus. Mau kemana dan bagaimana nantinya kampus akan dikelola, lembaga inilah
yang akan mewujudkannya dalam tataran kerja nyata di lapangan.
Dengan
menguasai lembaga intra kampus, PMII akan semakin meneguhkan perjuangannya
dalam menyalurkan aspirasi mahasiswa di segala lapisan baik akademisi,
organisatoris hingga preman kampus. Perlu diingat bahwa Perguruan Tinggi
merupakan salah satu sarana yang dibuat dalam meningkatkan pembangunan negara
secara umum, oleh karena itu tak heran bahwa banyak perubahan besar yang
diawali dari gerakan lembaga kemahasiswaan ini. Adanya lapangan bola, internet,
pustaka hingga tempat parkir merupakan fasilitas yang diberikan karena adanya
sebuah permintaan yang dalam hal ini diajukan oleh mahasiswa secara umum dan
disampaikan kepada pihak birokrat melalui lembgaga kemahasiswaan jalur
komunikasi antara mahasiswa dan birokrat kampus. Ketika birokrat kampus serta
lembaga-lembaga ini tidak mampu berkoordinasi dalam mengaspirasikan harapan
civitas kampus umum, maka akan timbul saling ketidakpercayaan, stagnansi hingga
kemerosotan akreditasi kampus dalam tataran akademis, fasilitas dan budaya.
G.
PENUTUP
Demikianlah
paparan seputar kehidupan perkuliahan, dimana kampus dan mahasiswa berada.
Kampus bisa menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mengembangkan aktualisasi dan
apresiasinya sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini merupakan sisi positif yang
dimiliki mahasiswa. Kesempatan seperti ini tentu tidak dimiliki mereka yang
tidak sempat belajar di kampus.
Sebagai
bagian dari elemen mahasiswa, PMII memandang sangat vital keberadaan kampus,
tidak hanya semata-mata untuk tempat pembelajaran, tetapi juga sebagai wahana
untuk menempa dan mengembangkan bakat potensi yang dimiliki para anggotanya.
Wassalam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar