MENGHARGAI PERBEDAAN
Mungkinkah Kita Bisa Berbeda?
Catatan Dari
Perjumpaan Dengan Mereka Yang Tertindas
Wong bedo kok dimusuhi”. Kalimat ini meluncur begitu saja dari
bibir Embah Samadikun,
seorang pembarong reyog Ponorogo kawakan. Hal itu
diucapkannya saat ia membuat tafsir tentang Reyog yang berbeda dengan pandangan
maenstream, khususnya yang diresmikan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Akibat komitmennya memegang teguh cara pandangnya itu, Embah Samadikun
disingkirkan oleh birokrasi dari Yayasan Reyog. Ia juga diolok-olok para
seniman reyog “plat merah”. Kowe kuwi ngerti opo? Begitulah kata-kata yang
dilontarkan oleh para seniman itu merespon tafsir reyog versi Embah Samadikun
saat mereka membuat sarasehan tentang reyog untuk menemukan kesepakatan
mengenai kontruksi pertunjukkan reyog. Karena beliau bukan orang sekolahan,
maka pendapatnya segera tersingkir seiring dengan dimasukkannya orang-orang
kampusan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ponorogo, untuk membuat
standarisasi pertunjukkan reyog sebagaiaman yang termaktub dalam sebuah buku.
Upaya pembunuhan ide-ide reyog versi Embah Samadikun ternyata
tidak berhenti di situ. Beliau bahkan kian dijauhkan dari dunia reyog yang
digelar oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo, lewat Festival Reyog Nasional
menjelang Peringatan Hari Proklamasi (17 Agustusan). Namun beliau tak patah
arang. Beliau justru mengembangkan reyog dalam ruang spiritualitas
kesehariannya sendiri.
Cerita mengenai penyingkiran Embah Samadikun saat memperjuangkan
ide-idenya dia yang menggambarkan bagaimana kondisi saat itu mengalami
penindasan yang sangat luar biasa. Yang tentunya sangat jauh berbeda pada saat
ini di mana kebebesan beraspirasi dan demokrasi benar-benar harus di junjung
tinggi asalkan tetap sesuai dengan koridor norma dan rasa saling menghargai
satu sama lainnya. Apa yang salah dari keberagaman dan apa yang buruk dari
keberbedaan. Sesungguhnya pluralisme tidak akan bisa terpisahkan dari kehidupan
manusia. Allah pun sudah menunjukan pada ciptaannya yang berupa manusia. Wajah,
sifat, karakter dan sidik jari. Dan ingatlah tulisan yang dicengkram oleh sang
garuda simbol negara kita. Sudah jelas bangsa ini sangat beragam yang membuat
hebat dan indah. Lantas apa yang harus melandasi masih ada
diskriminasi-diskriminasi kaum minoritas. Sadarlah kita tidak akan mampu hidup
sendiri tanpa manusia lainnya yang pastinya punya perbedaan dari kita. Dan satu
kekufuran serta kemunafikan, kita mengelakan semua itu. janganlah menganggap
golongan kita yang paling benar karena kita belum pasti tahu apakah ada
golongan yang lebih benar. Sepatutnya kita saling menghormati dan menghargai
karena kita sama-sama ciptaan tuhan dan sedang berproses menempuh tujuan yang
menurut kita sama-sama benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar