

“renaissance-paedagogie”, mendidik supaya bangkit kembali itulah yang harus di kerjakan oleh kaum muda itulah yang harus mereka sistemkan dan bukan separatisme atau perang saudara bahagialah kaum muda yang di berikan kesempatan oleh tuhan buat mengerjakan “renaissance-paedagogie” bahagialah kaum muda yang di takdirkan tuhan menjadi pahlawan-pahlawannya renaissance-paedagogie. (SOEKARNO)
Siapa
yang tidak kenal Soekarno. Sosok Soekarno mempunyai magnet besar bagi bangsa
ini, pidato-pidatonya begitu menggelegar dan menggelorakan semangat
nasionalisme. Dia adalah sosok karismatik yang tak akan pernah tergantikan. Tak
heran kalau pengamat mengatakan, selama 100 tahun belum tentu di Indonesia
lahir seorang tokoh seperti Soekarno. Soekarno adalah seorang muslim dan bahkan
di Timur Tengah diakui sebagai seorang pemimpin muslim. Sayangnya di negeri
ini, Soekarno lebih sering dipandang sebagai seorang pemimpin nasionalis
daripada seorang pemimpin muslim. Padahal dari penelusuran pustaka Soekarno tak
kalah banyak menulis dan berpidato tentang Islam. Dengan demikian dari sudut
pandang sejarah, perlu dipertimbangkan kembali kedudukan Soekarno sebagai,
ya....!!!paling tidak, seorang pemikir muslim yang turut menyumbang secara
cukup berarti dalam wacana keislaman. Kita sadari bersama bahwa segala macam
usaha untuk mengenang dan mempelajari kembali ajaran dan semangat Soekarno
mempunyai arti yang penting sekali bagi bangsa kita dewasa ini.
Pendidikan
Islam menjadi salah satu perhatian Soekarno, karena ia dapat digunakan sebagai
sarana transformasi masyarakat muslim di Indonesia. Pada aras ini, Soekarno
sering melontarkan kritik terhadap umat Islam yang masih berpegang teguh pada
sikap hidup kuno dan anti perubahan. Menurut Soekarno, umat Islam memang
berpegang pada ajaran Al Qur‘an dan Hadits. Tapi bukan nyalanya, bukan apinya,
debunya, asbesnya. Abunya yang berupa celak mata dan sorban, tetapi bukan
apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain.
Oleh karena itu Soekarno sering melontarkan kritik terhadap model pendidikan
Islam pada masanya: di antaranya pesantren. Pada saat itu, Soekarno melihat
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, masih kuno dan tidak sesuai dengan
semangat zaman, lantaran terpaku pada sistem pengajaran yang cenderung
memisahkan antara aspek keagamaan dengan aspek ilmu pengetahuan umum. Pendek
kata, pendidikan Islam yang dipadu dengan pendidikan ilmu pengetahuan umum,
itulah yang dikehendaki Soekarno. Soekarno pernah mengkritisi pesantren yang
didirikan A. Hassan sahabatnya: “Saya tahu tuan punya pesantren, bukan
universiteit, tapi alangkah baiknya kalau toh western science, di situ ditambah
banyaknya. Demi Allah ‘Islam science’ bukan hanya pengetahuan Qur‘an dan Hadits
sahaja; ‘Islam science’ adalah pengetahuan Qur‘an dan Hadits plus pengetahuan
umum.” Dari sini, terlihat jelas bagaimana Soekarno menolak adanya dikotomi
dalam pendidikan Islam. Maksudnya bahwa Soekarno tidak memilah-milah antara
yang dunia dan akhirat. Bagi beliau, sesuatu yang bersifat duniawi dapat
digunakan sebagai jembatan untuk mencapai cita-cita ukhrawi. Linier dengan
pandangan Soekarno, menurut Nurchalish Madjid (1998), umat Islam tidak
diperbolehkan curiga kepada kehidupan dunia, apalagi lari darinya, yaitu lari
dari realitas kehidupan duniawi. Sejatinya hal seperti ini diharamkan oleh
Islam. Dan doa yang terpenting dalam Islam berisi permohonan kepada Tuhan agar
diberi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, serta terjaga dari kesengsaraan di
neraka. Secara umum, Islam tidak bertentangan dengan sains. Soekarno sendiri
dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada agama yang lebih rasional dan mudah
daripada agama Islam. Pandangan Soekarno tentang Islam ini menunjukkan bahwa
beliau amat mendukung paham rasional. Dan hal ini pada gilirannya membawa beliau
bergabung dengan Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial keagamaan berhaluan
Islam modernis yang kala itu lebih dikenal dekat dengan pola pemikiran yang
rasional. Soekarno berharap bahwa di Muhammadiyah ia dapat menemukan
kawan-kawan yang sehaluan dengan pemikiran-pemikiran keIslamannya yang
progresif. Berbagai pengalaman Soekarno tentang Islam dan sekaligus
pengalamannya dalam oganisasi Muhammadiyah, juga makin mempertajam daya
kepekaan Soekarno terhadap masalah pendidikan: khususnya dalam hal ini pendidikan
Islam. Bagi Soekarno, pendidikan merupakan arena untuk mengasah akal dan
mengembangkan intelektualitas. Soekarno menyebutnya dengan
“renaissance-paedagogie”, yaitu bagaimana mendidik untuk bangkit. Dengan tegas
Soekarno mengorientasikan semuanya pada kembalinya peran akal dalam setiap
langkah kehidupan umat manusia. Sebab bagi Soekarno hanya dengan cara ini maka
kemajuan di bidang ilmu dan teknologi dapat diraih, yang pada gilirannya akan
membawa pada kebangkitan Islam. Tidak berlebihan beliau menyebut bahwa motor
hakiki dari semua rethinking of Islam adalah kembalinya penghargaan atas akal.
Dalam pandangan Soekarno, untuk membangkitkan kembali dunia Islam yang tertidur
lelap ini, maka tidak ada cara lain kecuali membangun kembali peran akal,
memfungsikan kembali akal dan rasio secara perlahan-lahan tapi pasti, umat
Islam harus berani melepaskan diri dari kungkugan masa lalu, mengeluarkan diri
dari penjara taqlid dan memberanikan diri untuk menatap masa depan: masa depan
yang syarat dengan kompetisi dan kompleksitas kultur dan ilmu pengetahuan.
Mengutip Soekarno, “Marilah kita memerdekakan kita punya roh, kita punya akal
dan kita punya pengetahuan dari ikatan-ikatannya kejumudan. Hanya dengan roh,
akal dan pengetahuan yang merdekalah kita bisa mengerjakan penyelidikan
kembali, her-orientation, zelf-correctie yang sempurna.”
apa
yang digagas oleh Soekarno, sangat relevan dengan isu dan tuntutan pembaruan
pendidikan Islam yang berkembang dewasa ini. Yang amat diperlukan oleh umat
Islam adalah keberanian mengembangkan pendidikan Islam yang mampu menelaah
kembali ajaran-ajaran Islam yang mapan (sebagai hasil interaksi sosial dalam
sejarah) dan mengukurnya kembali dengan sumber pokok ajaran Islam itu sendiri,
yaitu Al Qur‘an dan Hadits. Hal itu juga berarti tuntutan untuk melakukan
ijtihad, dengan memikirkan kembali makna Islam, umat, syariat dan sebagainya.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh umat Islam saat ini yaitu bagaimana
pendidikan Islam dapat berbicara dan bertindak tentang berbagai persoalan hari ini,
seperti, pemberantasan korupsi, penggusuran, advokasi TKI-buruh, terorisme dan
lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar