Senin, 02 Desember 2013

Pandangan Soekarno















“renaissance-paedagogie”, mendidik supaya bangkit kembali itulah yang harus di kerjakan oleh kaum muda itulah yang harus mereka sistemkan dan bukan separatisme atau perang saudara bahagialah kaum muda yang di berikan kesempatan oleh tuhan buat mengerjakan “renaissance-paedagogie” bahagialah kaum muda yang di takdirkan tuhan menjadi pahlawan-pahlawannya renaissance-paedagogie. (SOEKARNO)
Siapa yang tidak kenal Soekarno. Sosok Soekarno mempunyai magnet besar bagi bangsa ini, pidato-pidatonya begitu menggelegar dan menggelorakan semangat nasionalisme. Dia adalah sosok karismatik yang tak akan pernah tergantikan. Tak heran kalau pengamat mengatakan, selama 100 tahun belum tentu di Indonesia lahir seorang tokoh seperti Soekarno. Soekarno adalah seorang muslim dan bahkan di Timur Tengah diakui sebagai seorang pemimpin muslim. Sayangnya di negeri ini, Soekarno lebih sering dipandang sebagai seorang pemimpin nasionalis daripada seorang pemimpin muslim. Padahal dari penelusuran pustaka Soekarno tak kalah banyak menulis dan berpidato tentang Islam. Dengan demikian dari sudut pandang sejarah, perlu dipertimbangkan kembali kedudukan Soekarno sebagai, ya....!!!paling tidak, seorang pemikir muslim yang turut menyumbang secara cukup berarti dalam wacana keislaman. Kita sadari bersama bahwa segala macam usaha untuk mengenang dan mempelajari kembali ajaran dan semangat Soekarno mempunyai arti yang penting sekali bagi bangsa kita dewasa ini.
Pendidikan Islam menjadi salah satu perhatian Soekarno, karena ia dapat digunakan sebagai sarana transformasi masyarakat muslim di Indonesia. Pada aras ini, Soekarno sering melontarkan kritik terhadap umat Islam yang masih berpegang teguh pada sikap hidup kuno dan anti perubahan. Menurut Soekarno, umat Islam memang berpegang pada ajaran Al Qur‘an dan Hadits. Tapi bukan nyalanya, bukan apinya, debunya, asbesnya. Abunya yang berupa celak mata dan sorban, tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain. Oleh karena itu Soekarno sering melontarkan kritik terhadap model pendidikan Islam pada masanya: di antaranya pesantren. Pada saat itu, Soekarno melihat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, masih kuno dan tidak sesuai dengan semangat zaman, lantaran terpaku pada sistem pengajaran yang cenderung memisahkan antara aspek keagamaan dengan aspek ilmu pengetahuan umum. Pendek kata, pendidikan Islam yang dipadu dengan pendidikan ilmu pengetahuan umum, itulah yang dikehendaki Soekarno. Soekarno pernah mengkritisi pesantren yang didirikan A. Hassan sahabatnya: “Saya tahu tuan punya pesantren, bukan universiteit, tapi alangkah baiknya kalau toh western science, di situ ditambah banyaknya. Demi Allah ‘Islam science’ bukan hanya pengetahuan Qur‘an dan Hadits sahaja; ‘Islam science’ adalah pengetahuan Qur‘an dan Hadits plus pengetahuan umum.” Dari sini, terlihat jelas bagaimana Soekarno menolak adanya dikotomi dalam pendidikan Islam. Maksudnya bahwa Soekarno tidak memilah-milah antara yang dunia dan akhirat. Bagi beliau, sesuatu yang bersifat duniawi dapat digunakan sebagai jembatan untuk mencapai cita-cita ukhrawi. Linier dengan pandangan Soekarno, menurut Nurchalish Madjid (1998), umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan dunia, apalagi lari darinya, yaitu lari dari realitas kehidupan duniawi. Sejatinya hal seperti ini diharamkan oleh Islam. Dan doa yang terpenting dalam Islam berisi permohonan kepada Tuhan agar diberi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, serta terjaga dari kesengsaraan di neraka. Secara umum, Islam tidak bertentangan dengan sains. Soekarno sendiri dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada agama yang lebih rasional dan mudah daripada agama Islam. Pandangan Soekarno tentang Islam ini menunjukkan bahwa beliau amat mendukung paham rasional. Dan hal ini pada gilirannya membawa beliau bergabung dengan Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial keagamaan berhaluan Islam modernis yang kala itu lebih dikenal dekat dengan pola pemikiran yang rasional. Soekarno berharap bahwa di Muhammadiyah ia dapat menemukan kawan-kawan yang sehaluan dengan pemikiran-pemikiran keIslamannya yang progresif. Berbagai pengalaman Soekarno tentang Islam dan sekaligus pengalamannya dalam oganisasi Muhammadiyah, juga makin mempertajam daya kepekaan Soekarno terhadap masalah pendidikan: khususnya dalam hal ini pendidikan Islam. Bagi Soekarno, pendidikan merupakan arena untuk mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas. Soekarno menyebutnya dengan “renaissance-paedagogie”, yaitu bagaimana mendidik untuk bangkit. Dengan tegas Soekarno mengorientasikan semuanya pada kembalinya peran akal dalam setiap langkah kehidupan umat manusia. Sebab bagi Soekarno hanya dengan cara ini maka kemajuan di bidang ilmu dan teknologi dapat diraih, yang pada gilirannya akan membawa pada kebangkitan Islam. Tidak berlebihan beliau menyebut bahwa motor hakiki dari semua rethinking of Islam adalah kembalinya penghargaan atas akal. Dalam pandangan Soekarno, untuk membangkitkan kembali dunia Islam yang tertidur lelap ini, maka tidak ada cara lain kecuali membangun kembali peran akal, memfungsikan kembali akal dan rasio secara perlahan-lahan tapi pasti, umat Islam harus berani melepaskan diri dari kungkugan masa lalu, mengeluarkan diri dari penjara taqlid dan memberanikan diri untuk menatap masa depan: masa depan yang syarat dengan kompetisi dan kompleksitas kultur dan ilmu pengetahuan. Mengutip Soekarno, “Marilah kita memerdekakan kita punya roh, kita punya akal dan kita punya pengetahuan dari ikatan-ikatannya kejumudan. Hanya dengan roh, akal dan pengetahuan yang merdekalah kita bisa mengerjakan penyelidikan kembali, her-orientation, zelf-correctie yang sempurna.”
apa yang digagas oleh Soekarno, sangat relevan dengan isu dan tuntutan pembaruan pendidikan Islam yang berkembang dewasa ini. Yang amat diperlukan oleh umat Islam adalah keberanian mengembangkan pendidikan Islam yang mampu menelaah kembali ajaran-ajaran Islam yang mapan (sebagai hasil interaksi sosial dalam sejarah) dan mengukurnya kembali dengan sumber pokok ajaran Islam itu sendiri, yaitu Al Qur‘an dan Hadits. Hal itu juga berarti tuntutan untuk melakukan ijtihad, dengan memikirkan kembali makna Islam, umat, syariat dan sebagainya. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh umat Islam saat ini yaitu bagaimana pendidikan Islam dapat berbicara dan bertindak tentang berbagai persoalan hari ini, seperti, pemberantasan korupsi, penggusuran, advokasi TKI-buruh, terorisme dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar