Rabu, 25 Desember 2013

KEORGANISASIAN PMII






A. PENDAHULUAN
          Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa datang. Dokumen historis, dengan demikian merupakan instrumen penting untuk mengaca diri. Tidak terkecuali PMII. Meski dokumen yang disajikan dalam tulisan ini terbilang kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar jelas berikut pemikiran dan sikap-sikapnya. Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai referensi atau cerminan masa kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin serta membangun kebangsaan yang lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah dicita-citakan.
          PMII, yang sering kali disebut Indonesian Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang juga anak dari NU. Status anak cucu inipun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khodjijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H, sebagai organisasi underbow Partai NU. Dalam perkembangannya PMII menjadi organisasi independen dan menekankan diri sebagai organisasi pergerakan, dengan tujuan menciptakan pribadi Muslim yang memiliki komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia (Pasal 4 AD/ART). Struktur organisasi PMII meliputi Pengurus Besar, Koordinator Cabang (Provinsi), Cabang (Kabupaten/Kota), Komisariat (Kampus) dan Rayon (Fakultas). Proses berorganisasi diatur melalui berbagai jenis rapat mulai dari Kongres (nasional) hingga RTAR.

B. LATAR BELAKANG BERDIRINYA PMII
          Latar belakang berdirinya PMII terkait dengan kondisi politik pada PEMILU 1955, berada di antara kekuatan politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU. Partai MASYUMI yang diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat itu ternyata gagal. Serta adanya indikasi keterlibatan MASYUMI dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan MASYUMI (1958). Hal inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak enjoy beraktivitas di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga mahasiswa NU terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU”, dan di samping organisasi kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan MASYUMI), SEMMI (dengan PSII), IMM (dengan Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan KMI (dengan PERTI), CGMI (dengan PKI).
          Proses kelahiran PMII terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek psikologis dan intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah tersendiri. Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdhatul Ulama (IMANU) pada Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll.
          Namun akhirnya IMANU tidak berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal itu cukup beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal 24 Februari 1954, “apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu merangkak dengan baik sudah menyusul bayi baru yang minta diurus dan dirawat dengan baik lagi.”
          Dibubarkannya IMANU tidak membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi semakin mengobarkan semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga pada Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah langkah kompromi oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU. Namun setelah disadari bahwa departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktural PP IPNU), akhirnya pada Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati berdirinya organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan IPNU. Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor untuk mengadakan musyawarah diantaranya adalah:

1. A. Cholid Mawardi (Jakarta).
2. M. Said Budairi (Jakarta).
3. M. Subich Ubaid (Jakarta).
4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung).
5. Hilman (Bandung).
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta).
7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta).
8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
9. Laili Mansur (Surakarta).
10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
11. Hizbullah Huda (Surabaya).
12. M. Cholid Marbuko (Malang).
13. Ahmad Husein (Makassar).

          Seperti diuraikan oleh sahabat Chotibul Umam (mantan Rektor PTIQ Jakarta yang juga generasi pertama PMII), pra melaksanakan Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin tersebut, terlebih dahulu 3 dari 13 orang sponsor pendiri itu, yaitu Hisbullah Huda (Surabaya), Said Budairy (Jakarta), dan Maksum Syukri (Bandung) pada tanggal 19 Maret 1960 berangkat ke Jakarta menghadap Ketua Umum Partai Nahdlatul ulama (NU) yaitu KH. Idham Khalid untuk meminta nasehat sebagai pegangan pokok dalam musyawarah yang akan dilaksanakan. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk, sekaligus harapan agar menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip ilmu untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada Allah SWT. Salah satu pesan KH. Idham Khalid yang menjadi pegangan bagi mahasiswa nahdliyin pada waktu itu yaitu hendaknya organisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat diandalkan, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ‘ilmu untuk di amalkan’ bagi kepentingan rakyat, bukan ‘ilmu untuk ilmu’. Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas tentang nama organisasi yang akan dibentuk.
          Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU bertempat di Taman Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII.
          Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta memilih dan menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, M. Chalid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.
          Unsur pemikiran yang ditonjolkan pada organisasi PMII yang akan berdiri pada waktu itu adalah:
1.    Mewujudkan adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa, khususnya karena pada waktu itu situasi nasional sedang diliputi oleh semangat revolusi;
2.    Menampakkan identitas ke-Islaman sekaligus sebagai konsepsi lanjutan dari NU yang berhaluan ahlu sunnah wal jamaah juga berdasarkan perjuangan para wali di pulau jawa yang telah sukses dengan dakwahnya. Mereka sangat toleran atas tradisi dan budaya setempat. Sehingga dengan demikian ajaran-ajarannya bersifat akomodatif.
3.    Memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus tercantum.
         
          PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960 dinyatakan sebagai hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal 14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh PBNU. Sejak saat itu PMII memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya secara formal organisatoris.
          Dalam waktu yang relatif singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13 cabang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU. Dalam perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan politik serta dinamika perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan keagamaan di Indonesia (1960-1965).
          Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di Yogyakarta sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra universitas. Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti pada bulan September 1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda Sedunia (Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet. Tahun 1962 menghadiri seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda Sedunia di Helsinki, Irlandia dan seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo, Mesir.
          Di dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan, terbukti pada tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi Syarif Thoyyib kepada berbagai aktifis mahasiswa untuk membicarakan situasi nasional saat itu, sehingga dalam ujung pertemuan disepakati terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari PMII, HMI, IMM, SEMMI, dan GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan mahasiswa Indonesia dalam melawan rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di posisi strategis menjadi bukti diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk semakin pro aktif dalam menggelorakan semangat juang demi kemajuan dan kejayaan Indonesia.
          Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan TRITURA dikarenakan persoalan tersebut yang paling dominan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang dilakukan KAMI adalah penumbangan rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru, yang pada awalnya diharapkan untuk dapat mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama dan bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai cerminan dari pengabdian kepada rakyat.
          Pemikiran-pemikiran PMII mengenai berbagai masalah nasional maupun internasional sangat relevan dengan hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain yaitu :
1.    Kongres I Solo, 23-26 Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang mengangkat tema Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Kongres II di Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan dikenal sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan Ponorogo 1962 (sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU).
 Secara totalitas PMII sebagai organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan melahirkan kader-kader bangsa yang mempunyai integritas diri sebagai hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT dan atas dasar ketaqwaannya berkiprah mewujudkan peran ketuhanannya membangun masyarakat bangsa dan negara Indonesia menuju suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ampunan dan ridlo Allah SWT).
Sedangkan pengertian Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang menjadi paham organisasi adalah Islam sebagai universalitas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan kedalam tata Aqidah, Syariah, dan Tasyawuf. Dalam bidan Aqidah mengikuti paham Al-Asya’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang syariah mengikuti salah satu mazhab empat yaitu: Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Sedang dalam bidang Tasawuf, mengikuti Imam Juned Al-Bagdadi dan Imam Al-Gozali. Masing-masing ketiga aspek itu dijadikan paham organisasi PMII dengan tanpa meninggalkan wawasan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perilaku sahabat Rasul. Aspek Fiqih diupayakan penekanannya pada proses pengambilan hukum, yaitu Ushul Fiqih dan Kaidah Fiqih, bukan semata-mata hukum itu sendiri sebagai produknya (lihat NDP PMII).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa nahdliyin sebenarnya dari segi cara berfikir tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya, yang menghendaki kebebasan. Sedangkan dalam bertindak cenderung anti kemapanan, terlebih jika kelahiran PMII itu dihubungkan dengan tradisi keagamaan di kalangan NU, misalnya bagi putra-putri harus berbeda/dipisah organisasi, PMII justru keluar dari tradisi itu. Fenomena ini barangali termasuk hal yang patut mendapat perhatian bagi perkembangan pemikiran ahlussunnah wal-jama’ah.
Adapun susunan pengurus pusat PMII periode pertama ini baru tersusun secara lengkap pada bulan Mei 1960. Seperti diketahui, bahwa PMII pada awal berdirinya merupakan organisasi mahasiswa yang dependen dengan NU , maka PP. PMII dengan surat tertanggal 8 Juni 1960 mengirim surat permohonan kepada PBNU untuk mengesahkan kepengurusan PP PMII tersebut. Pada tanggal 14 Juni 1960 PBNU menyatakan bahwa organisasi PMII dapat diterima dengan sah sebagai keluarga besar partai NU dan diberi mandat untuk membentuk cabang-cabang di seluruh Indonesia, sedang yang menandatangani SK tersebut adalah DR. KH. Idham Chalid selaku ketua Umum PBNU dan H. Aminuddin Aziz selaku wakil sekretaris jendral PBNU ).
Musyawarah mahasiswa nahdliyin di Surabaya yang dikenal dengan nama PMII, hanya menghasilkan peraturan dasar organisasi, maka untuk melengkapi peraturan organisasi tersebut dibentuklsn satu panitia kecil yang diketuai oleh sahabat M. Said Budairi dengan anggota sahabat Chalid mawardi dan sahabat Fahrurrazi AH, untuk merumuskan peraturan rumah tangga PMII. Dalam sidang pleno II PP PMII yang diselenggarakan dari tanggal 8 - 9 September 1960, Peraturan rumah tangga PMII dinyatakan syah berlaku melengkapi paraturan dasar PMII yang sudah ada sebelumnya)
Di samping itu, sidang pleno II PP PMII juga mengesahkan bentuk muts (topi), selempang PMII, adapun lambang PMII diserahkan kepada pengurus harian, yang akhirnya dipuruskan bahwa lambang PMII berbentuk perisai seperti yang ada sekarang (rincian secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran peraturan rumah tangga PMII). Dalam sidang ini pula dikeluarkan pokok-pokok aturan mengenai penerimaan anggota baru  ) sekarang dikenal dengan MAPABA.
Pada tahap-tahap awal berdirinya PMII banyak dibantu warga NU terutama PP LP. Ma’arif NU. Sejak musyawarah mahssiswa nahdliyin di surabaya sampai memberikan pengertian kepada Pesantren-pesantren (perlu diketahui, pada awal berdirinya, di Pondok-pondok Pesantren dapat dibentuk PMII dengan anggota para santri yang telah lulus madrasah Aliyah dan seang mengkaji kitab yang tingkatannya sesuai dengan pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi agama). Dengan adanya kebijakan seperti ini ternyata dapat mempercepat proses pengembangan PMII).

C. KENAPA BERNAMA PMII?
          Nama PMII merupakan usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang mendapat dukungan dari utusan Surakarta. Nama PMII juga mempunyai arti tertentu.
1. Makna “Pergerakan”  yang terkandung dalam PMII adalah Dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya. Dalam konteks individual, komunitas maupun organisatoris, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang labih baik sebagai perwujudan tanggung jawabnya memberi rahmat pada lingkungannya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan potensi kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada didalam kualitas ke khalifahannya.
2.  Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra sebagai Insan Religius, Insan Akademis, Insan Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas tersebut terpantul tanggungjawab keagamaan, intelektualitas, sosial-kemasyarakatan dan tanggungjawab individu sebagai hamba Allah maupun sebagai warga Negara.
3.  Makna “Islam” yang dimaksud di sini Islam ala Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional terhadap Iman, Islam dan Ihsan, yang di dalam pola pikir dan pola perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif. Pengertian “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan paradigma ahlussunnah waljama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Isalam secara proporsional antara Iman. Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir dan pola perilakunya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.
4. Makna “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

D. ASAS, SIFAT DAN TUJUAN PMII
  Dalam Anggaran Dasar (AD) Bab II Pasal 2 dijelaskan bahwa PMII Berasaskan Pancasila. Sedangkan Bab III Pasal 3 menerangkan PMII bersifat keagamaan, kemahasiswaan, kebangsaan, kemasyarakatan, independensi dan profesional.
Adapun tujuan PMII (Visi) ada dalam Bab IV Pasal 4 yaitu: ”Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.”
Sedangkan untuk mewujudkan tujuan tersebut, PMII mengusakan (misi) sebagaimana dalam Bab IV pasal 5, sebagai berikut:
1.    Menghimpun dan membina mahasiswa Islam sesuai dengan sifat dan tujuan PMII serta peraturan perundang-undangan dan paradigma PMII yang berlaku.
2.    Melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang sesuai dengan asas dan tujuan PMII serta mewujudkan pribadi insan ulul albab.

E. STRUKTUR ORGANISASI DAN PERMUSYAWARATAN
Dalam Bab VI tenang Struktur Organisasi Pasal 7 dijelaskan bahwa Struktur Organisasi PMII terdiri atas:
1. Pengurus Besar (PB)
2. Pengurus Koordinator Cabang (PKC)
3. Pengurus Cabang (PC)
4. Pengurus Komisariat (PK)
5. Pengurus rayon (PR).
Sedangkan dalam Bab VII tentang Permusyawaratan Pasal 8 diterangkan bahwa Permusyawaratan dalam Organisasi terdiri dari :
1.    Kongres
2.    Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas)
3.    Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas)
4.    Konferensi Koordinator Cabang (Konferkoorcab)
5.    Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspimda)
6.    Musyawarah Kerja Koordinator Cabang (Mukerkoorcab)
7.    Konferensi Cabang (Konfercab)
8.    Musyawarah Pimpinan Cabang (Muspimcab)
9.    Rapat Kerja Cabang ( Rakercab )
10. Rapat Tahunan Komisariat (RTK)
11. Rapat Tahunan Anggota Rayon (RTAR)
12. Kongres Luar Biasa (KLB)
13. Konferensi Koordinator Cabang Luar Biasa (Konferkoorcab-LB)
14. Konferensi Cabang Luar Biasa (Konfercab-LB)
15. Rapat Tahunan Komisariat Luar Biasa (RTK-LB)
16. Rapat Tahunan Anggota Rayon Luar Biasa ( RTAR-LB).

Dalam Bab VIII tentang Wadah Pengembangan Dan Pemberdayaan Perempuan Pasal 9 dinyatakan bahwa:
1.    Pengembangan dan pemberdayaan perempuan diwujudkan dalam badan semi otonom yang secara khusus menangani pengembangan dan pemberdayaan perempuan PMII berpersfektif keadilan dan kesetaraan gender yang dibentuk berdasarkan asas lokalitas kebutuhan.
2.    Selanjutnya pengertian semi otonom dijelaskan dalam Bab penjelasan.


F. LAMBANG PMII
          Lambang PMII diciptakan oleh H. Said Budairi. Lazimnya lambang, lambang PMII memiliki arti yang terkandung di setiap goresannya. Arti dari lambang PMII bisa dijabarkan dari segi bentuknya (form) maupun dari warnanya.
          1. Dari Bentuk :
  1. Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh luar
  2. Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita- cita yang selalu memancar
  3. Lima bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah dengan empat Sahabat terkemuka (Khulafau al Rasyidien)
  4. Empat bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhauan Ahlussunnah Wal Jama’ah
  5. Sembilan bintang sebagai jumlah bintang dalam lambing dapat diartikan ganda yakni :
  •  Rasulullah dan empat orang sahabatnya serta empat orang Imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
  •  Sembilan orang pemuka penyebar agama Islam di Indonesia yang disebut WALISONGO.
          2. Dari Warna :
  1. Biru, sebagaimana warna lukisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.
  2. Biru muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berarti ketinggian ilmu pengertahuan, budi pekerti dan taqwa.
  3. Kuning, sebagaimana warna dasar perisai- perisai sebelah bawah, berarti identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar pergerakan lambing kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.

G. HUBUNGAN PMII DENGAN NU
          1. Dependensi atau Underbaw Partai NU (1960-1972)
          Awal mula berdirinya PMII nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat Partai NU. Hal ini terlihat jelas dalam aktifitas PMII antara tahun 1960-1972 (pra PMII menyatakan Independen) sebagian besar program-programnya berorientasi politis. Ada beberapa hal yang melatar belakangi, diantaranya: Pertama, adanya anggapan bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader muda partai NU, sehingga bangunan gerakan dan aktifitas selalu diorientasikan untuk menunjang gerak dan langkah partai NU.
          Kedua, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu sangat kondusif untuk gerakan-gerakan politis, sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi policy pemerintahan Orde Lama (Orla). Dan PMII sebagai bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam konstelasi politik seperti itu.
          Lebih jauh Sahabat Mahbub Djunaidi (Ketua Umum PB PMII Pertama) mengatakan “Mereka bilang mahasiswa yang baik adalah mahasiswa non-partai, bahkan non-politis, yang berdiri diatas semua golongan, tidak kesana, tidak kesini, seperti seorang mandor yang tidak berpihak. Sebaliknya kita beranggapan, justru mahasiswa itulah yang harus berpartisipasi secara konkrit dengan kegiatan-kegiatan partai politik”.
          Pada saat PMII berhasil mengadakan konsolidasi ke dalam tubuh organisasi, baik tubuh pengurus maupun anggota, pada waktu bersamaan pula PMII telah melakukan upaya-upaya nasional. Diantaranya sewaktu Persatuan Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI) masih hidup. PMII yang menjadi salah satu anggotanya turun aktif di dalamnya. Di samping itu PMII berkiprah dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yakni satu komando yang bertujuan menggayang paham komunis di bumi Indonesiadan menjaga keamanan negara dan bangsa. Di samping upaya-upaya nasional, PMII juga berpartisipasi dalam kegiatankegiatan Internasional. Di antaranya pada bulan September 1960 PMII ikut serta dalam Konferensi Pembentukan Panitia Internasional Forum Pemuda se-Dunia di Moscow (Constituent Meeting of the Youth Forum). Pada pertengahan tahun 1962 PMII mengikuti seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur. Tahun 1962 juga, selama tiga (3) bulan, PMII berkesempatan menghadiri Festival Pemuda se-Dunia di Helsniki, Finlandia. Pada tahun 1965 ikut serta menghadiri seminar Internasional mengkaji masalah Palestina di Kairo, yang diselenggarakan oleh General Union of Palestine Student (GUPS).

          2. Independensi (1972-1991)
          Seiring dengan perjalanan waktu, perubahan dalam kehidupan tidak dapat terelakkan. Setelah keluarnya SUPERSEMAR 1966, kegiatan demonstrasi massa menurun, hingga akhirnya dilarang sama sekali. Mahasiswa diperintahkan untuk back to campus. Kondisi yang demikian menggeser posisi strategis KAMI menjadi termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk mengadakan beberapa rapat mulai 1967 di Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969 dengan membahas National Union of Student. Namun usaha-usaha yang dilakukan menemui jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar dan beberapa anggotanya kembali pada organisasi yang semula.
Jatuhnya orde lama dan naiknya Soeharto sebagai rezim orde baru membawa kepada perubahan politik dan pemerintahan yang cukup signifikan setelah Soekarno sebelumnya membubarkan Masyumi, orde baru juga berobsesi untuk mengurangi partai politik yang berbau ideologi dengan mendirikan partai untuk menopang keuasaannya sendiri. Kebijakan pemerintahan orde baru diatas telah menempatkan pemerintahan sebagai wilayah kauasaan yang tidak bisa dijamah dan dikritisi oleh masyarakat.
          PMII tetap melakukan gerakan-gerakan moral terhadap kasus dan penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa. Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan Partai Golkar dengan dukungan dari ABRI. Perubahan konstalasi politik pun terjadi perlahan dan pasti. Partai-partai politik Islam termasuk NU dimarjinalkan dan dimandulkan dengan mau digabung dalam stau partai (kemudian bernama Partai persatuan Pembangunan). PMII kalau masih menjadi underbaw Partai NU maka dengan sedirinya akan menjadi underbaw PPP. Dan di sisi lain kondisi intern NU dilanda konflik internal.
          Fenomena di atas menuntut PMII mampu melakukan pembacaan secara jeli tentang dirinya ditengah upaya pemerintah untuk melakukan upaya-upaya pengkerdilan terhadap setiap komponen masyarakat-bangsa termasuk partai politik selain golkar. Dari hasil pembacaan itu bahwa apabila PMII tetap bernaung dibawah NU yang masih berada pada wilayah politik praktis, maka PMII akan mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai ormas mahasiswa. Atas dasar pertimbangan inilah pada MUBES V tanggal 14 Juli 1972 di Munarjati Malang, PMII memutuskan untuk menjadi organisasi yang independen yang tertuang dalam deklarasi Munarjati. Dengan ini PMII sebagai tidak terikat pada sikap dan tindakan siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi serta cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan pancasila.
          Harus diakui bahwa sejarah paling besar dalam PMII adalah ketika dipergunakannya independensi dalam Deklarasi Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES III tersebut, dilakukan rekonstruksi perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-rugi ketika PMII tetap bergabung (dependen) pada induknya (NU). Namun sejauh itu pertimbangan yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII sebagai organisasi kepemudaan ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatarbelakangi Independensi PMII tersebut.
  1. Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan insan Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab, serta cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
  2. Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk ikut bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
  3. Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, sikap keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independen, tidak terikat baik sikap maupun tindakan dengan siapapun, dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, yang berlandaskan Pancasila.   
Deklarasi Murnajati tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Kongres V PMII di Ciloto, 28 Desember 1973. Dalam bentuk Manifesto Independensi PMII yang terdiri dari tujuh butir, salah satu butirnya berbunyi: “…bahwa pengembangan sikap kreatif, keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab sebagai dinamika gerakan dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.”
Sampai di sini, belum dijumpai adanya motif lain dari independensi itu, kecuali proses pendewasaan. Hal ini didukung oleh manifesto butir terakhir, yang menyatakan bahwa “dengan independensi PMII tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.”
Kondisi sosio-akademis, PMII dengan independensinya lebih membuktikan keberadaan dan keabsahannya sebagai organisasi mahasiswa, kelompok intelektual muda yang sarat dengan idealisme, bebas membela dan berbuat untuk dan atas nama kebenaran dan keadilan. Dan bersikap bahwa dunia akademis harus bebas dan mandiri tidak berpihak pada kelompok tertentu. Sedangkan Cholid Mawardi dalam menyikapi independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia khawatir PMII tidak lagi memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU.
Pada periode 1980-an PMII yang mulai serius masuk dan melakukan pembinaan di perguruan tinggi menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakannya. Bersamaan dengan Khittah 1926 NU pada tahun 1984 dan diterimanya pancasila sebagai asas tunggal, PMII telah membuat pilihan-pilihan peran yang cukup strategis. Dikatakan strategis karena menentukan pilihan pada tiga hal yang penting, yaitu:
1.    PMII memberikan prioritas pada upaya pengembangan intelektualitas.
2.    PMII menghindari keterlibatannya dengan politik praktis, baik secara langsung atau tidak, dan bergerak pada wilayah pemberdayaan Civil Society.
3.    Memilih mengembangkan paradigma kritisisme terhadap negara. Pilihan-pilihan tersebut membuat PMII selalu berjarak dengan struktur-struktur kekuasaan politik maupun pemerintahan.

Meskipun independensi ini diliputi dengan pro-kontra yang semakin tajam. Akan tetapi PMII justru memilih independensi sebagai pilihan hidup dan mengukuhkan Deklarasi Murnajati dalam Kongres Ciloto, Medan tahun 1973 yang tertuang dalam Manifesto Independensi PMII. Maka sejak 28 Desember 1973 secara resmi PMII independen dan memulai babak baru dengan semangat baru menuju masa depan yang lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara strukutural dari NU, tetapi tetap merasa terikat secara kultur dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi pergerakan.
PMII secara resmi bergabung dengan Kelompok Cipayung (22 Januari 1972) satu tahun setelah Kongres Ciloto, yaitu pada Oktober1974, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Drs. HM. Abduh Padare. Dan bergabung secara riil pada Januari 1976 dan dipercaya untuk menyelenggarakan pertemuan ketiga.
Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung merupakan perwujudan arah gerak PMII dalam lingkup kemahasiswaan, kebangsaan, dan keislaman. Kerjasama dengan berbagai pihak akan terus dilakukan sejauh masih dalam bingkai visi dan misinya. Terbukti sebelum bergabung dengan kelompok ini PMII juga terlibat aktif dalam proses menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Setelah PMII independen, selain melakukan aktifitas strategis dalam konstalasi nasional, PMII juga melakukan pola pengkaderan secara sistematis yang mengacu pada terbentuknya pemimpin yang berorientasi kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan bangsa.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Indonesia (IKAPMI) pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Ciumbeuleuit, Jawa Barat, 1975. Lahirnya Forum alumni ini merupakan upaya untuk memperkuat barisan PMII dalam gerak perjuangannya. Dan akhirnya forum inipun disempurnakan lagi pada Musyawarah Nasional Alumni 1988 di hotel Orchid Jakarta, menjadi Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni (FOKSIKA) PMII dan Sahabat Abduh Padere ditunjuk sebagai ketuanya.

          3. Interdependensi (1991-sekarang)
Pada perkembanagan lebih lanjut saat Kongres X, pola hubungan PMII dengan NU menjadi interdependen, dimana PMII tetap mempunyai perhatian khusus terhadap NU karena kesamaan kultur dan wawasan keagamaan yang memperjuangkan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa kemungkinan hubungan PMII–NU menjadi interdependen:
1.    Kesamaan kultur dan pemahaman keagamaan sebagai ciri perjuangan.
2.    Adanya rekayasa politik untuk mengembangkan kekuatan baru.
3.    Menghilangkan rasa saling curiga antar tokoh sehingga kader-kader PMII akan lebih mudah memasuki NU setelah tidak aktif di PMII.
Kendatipun demikian PMII memberikan catatan khusus independensinya yaitu bahwa hubungan tersebut tetap memegang prinsip kedaulatan organisasi secara penuh dan tidak saling intervensi baik secara struktural maupun kelembagaan. PMII memanfaatkan hubungan interdependen ini untuk kerjasama dalam pelaksanaan program-program nyata secara kualitatif fungsional dan mempersiapkan sumber daya manusia.
Pada tahun 70-an hingga 90-an, dalam perkembangannya, dunia kemahasiswaan berada dalam kondisi yang tidak kondusif, situasi back to campus lebih riil terjadi. Kebijakan Orde Baru telah memandulkan posisi strategis mahasiswa dan lebih didominasi oleh kekuatan militer dan Golkar. PMII hanya sebatas mampu melakukan pengkaderan secara periodik sesuai dengan progran kerja yang ditetapkan.
Namun awal tahun 90-an, kelompok-kelompok gerakan ekstra universitas secara intensif melakukan diskusi-diskusi dan aksi pendampingan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM terahadp rakyat seperti advokasi pertanahan, penculikan aktivis, pembredelan media, dll.

H. PMII DARI MASA KE MASA
1. PMII dan Episode Akhir Orde Lama
Pada tanggal 19-26 Desember 1964 di Jakarta pernah diadakan Musyawarah Nasional Generesi Muda Islam (GEMUIS). Musyawarah yang gagasan awalnya muncul dari gerakan Pemuda Ansor ini, bertujuan memperkuat ukhuwah islamiyah yang pada saat itu mengalami ujian akibat fitnah yang dilancarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hasil dari pertemuan tingkat nasional Generasi Muda Islam ini memutuskan membentuk suatu organisasi yang bersifat konfederatif. PMII dalam organisasi ini duduk sebagai Sekretaris Jenderal Presidium Pusat yang diwakili sahabat Said Budairy. Musyawarah Nasional ini sebagai reaksi atas aksi-aksi yang dilancarkan oleh antek-antek PKI khususnya CGMI (Consentrasi Gabungan Mahasiswa Indonesia), sebuah organisasi yang berafiliasi kepada PKI, yang kian memuncak menjelang peristiwa G.30.S/PKI.
Adapun kelahiran Orde Baru dapat dikatakan sebagai langkah koreksi total terhadap kebijakan rezim orde Lama. Kelahiran Orde Baru sebenarnya merupakan conditionine quanon, karena nampaknya rezim Orde Lama sudah tidak mampu lagi berdiri secara politik apalagi secara ekonomi. Kelahiran Orde Baru ini dipercepat lagi dengan adanya gerakan PKI yang berusaha merebut kekuasaan melalui aksi kudeta yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan 30 September/ G.30.S/PKI .
Sebenarnya ada atau tidaknya G.30.S/PKI, Orde Baru dapat dipastikan tetap akan lahir, karena rezim Orde Lama sudah sangat salah langkah dalam mengelola negara. Politik berdikarinya menyebabkan distopnya bantuan dari luar negeri, akibatnya rakyat semakin menderita, karena laju inflasi membumbung tinggi sampai 600% dan pemangkasan mata nilai rupiah dilakukan berkali-kali, tetapi hal itu tidak mampu merubah keadaan. Suasana yang sudah kritis ini ditambah lagi dengan tindakan Orde Lama yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, yang berakibat separoh dari anggaran belanja negara tersedot untuk kepentingan politik konfrontasi tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, PKI memanfaatkan suasana –mengail ikan di air yang keruh- dengan melemparkan isu bahwa dewan Jenderal akan merebut kekuasaan (kudeta) dari tangan Presiden Soekarno. Dalam keadaan seperti itu, rezim Orde Lama dihadapkan pada posisi yang serba dilematis, disatu pihak, jika rezim ini menghukum dan membubarkan PKI, jelas akan berhadapan dengan pemerintahan komunis di Cina yang selam ini mendukung politik Soekarno dalam politik konfrontasi dengan Malaysia, tetapi di lain pihak, jika tetap mempertahankan PKI jelas akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri, terutama rakyat yang selama ini terus menerus difitnah oleh PKI.
Melihat situasi yang tdiak menentu itu, para toko dan aktivis organisasi mahasiswa ekstra Universitas berinisiatif membentuk suatu wadah perjuangan untuk menegakkan kembali keadilan dan menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia yang tertindas. Mereka tampil dengan semboyan: TRI-TURA (Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat) :
1.    Bubarkan PKI beserta antek-anteknya.
2.    Retor Menteri-menteri yang goblok
3.    Turunkan harga.
Gerakan itu dipimpin oleh tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan ketua umum presidium pusatnya sahabat Zamroni (ketua umum PMII periode ke IV). Dengan posisi seperti itu dapat diketahui bahwa PMII punya andil sangat besar dalam kegiatan dan mobilisasi KAMI dalam rangka kelahiran Orde Baru.

2. PMII Pasca Kelahiran Orde Baru
Warisan yang ditinggalkan pemerintahan Orde Lama berupa kondisi sosial-ekonomi dan politik yang tidak menentu. Seputar awal kelahiran Orde Baru (1966) kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia benar-benar parah.salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini adalah dengan mengadakan senering (pengguntingan nilai mata uang), namun tidak mampu menolong keadaan perekonomian yang memang diluar jangkauan pengelolaan pemerintah. Selain itu, pemerintah Orde Baru di awal kebangkitannya mengeluarkan kebijakan politik yang dikenal dengan strukturisasi ideologi dan golongan. Yang dimaksud dengan strukturisasi ideologi dan golongan seperti yang dikemukan oleh Ali Moertopo dalam bukunya Strategi Politik Nasional:
1. Menciptakan dan kematangan stabilitas politik.
2. Perubahan struktur politik dengan pengakuan bagi Golkar.
3. Menciptakan mekanisme dan infra-struktur politik yang dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam melansirkan usaha-usaha pembangunan.
4. Membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat banyak.
Salah satu wujud perombakan struktur politik dengan menyeimbangkan kekuatan-kekuatan golongan fungsional (sekarang ; Golkar) dengan kekuatan-kekuatan partai politik yang berperan dalam wadah parlemen. implikasinya adalah menambah jumlah anggota DPR-GR pada posisi yang lebih menguntungkan kedudukan golongan fungsional, dengan satu argumen demi menjamin kelangsungan hidup Orde Baru dengan demokrasi Pancasila. Sudah barang tentu tindakan berupa kebijakan pemerintah Orde Baru seperti ini sangat merugikan partai politik. Salah satunya adalah partai NU sendiri, dengan PMII sebagai pendukungnya.
Keterlibatan PMII dalam arus kegiatan politik praktis justru berakibat fatal, PMII justru melupakan dirinya sebagai organisasi kemahasiswaan yang pada hakikatnya merupakan suatu gerakan intelektual dan gerakan moral. Tetapi dengan terseretnya PMII dalam kegiatan politik praktis maka PMII hanyut sehingga menjadi ‘bumper politik’.
Salah satu moment penting bagi PMII pasca kelahiran Orde Baru adalah pelaksanaan kongres IV PMII di Makassar (Ujung Pandang) pada tanggal 25-31 April 1970, hal ini dianggap penting karena beberapa hal :
Pertama, kongres IV PMII merupakan peletak dasar perjalanan PMII pada zaman Orde Baru, bersama dengan dimulainya Rancangan Repelita I pemerintahan Orde Baru. Kedua, kongres IV PMII ini adalah merupakan kongres yang pertama diadakan di luar Jawa, yaitu di Makassar, jal ini untuk membuktikan bahwa PMII tidak hanya besar di Pulau Jawa, tetapi juga mempunyai potensi dan basis yang kuat di luar Jawa, kongres ini hadiri oleh sekitar 100 utusan Cabang PMII. Ketiga, bersama dengan pelaksanaan kongres IV PMII ini juga dilaksanakan Musyawarah Nasional yang pertama yaitu Korp PMII Puteri.
Momentum sejarah perjalanan PMII yang membawa perubahan secara mendasar pada perjalanan selanjutnya adalah dicetuskannya “Independensi PMII” pada tanggal 1972 di Murnajati Lawang Malang Jawa Timur, yang kemudian kita kenal dengan “Deklarasi Murnajati” . Lahirnya deklarasi ini berkenaan dengan situasi politik nasional, ketika peran partai politik dikebiri – bahkan partisipasi dalam pemerintahanpun sedikit demi sedikit dikurangi – dan mulai dihapuskan. Hal ini mulai dirasakan oleh NU yang nota bene merupakan partai politik.
Akibat dari perubahan drastis iklim politik pemerintahan Orde Baru dimana kehidupan politik lebih menekankan pada iklim “ketenangan” yang tidak memungkinkan lagi bagi partai politik untuk hidup kongres IV PMII jor-joran seperti pada masa lalu, maka kehidupan organisasi mahasiswa , apalagi bagi organisasi mahasiswa yang dependen pada partai politik. Dampaknya pada suasana kehidupan berorganisasi terasa pengab.
Kelahiran Orde Baru secara dramatis pada 11 Maret 1966, menghantarkan Indonesia pada pintu harapan adanya perubahan orientasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Kekuatan militer pimpinan Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan dari pemuda dan mahasiswa.
Akan tetapi, masa ‘bulan madu’ penguasa baru dengan mahasiswa tidak berumur panjang. Titik kontradiktif persepsi mulai nampak menggeliat kepermukaan. Ketika awal 70-an mahasiswa secara kritis mengecam rezim Orde Baru yang secara perlahan namun pasti beringsut dari komitmen awal kelahirannya, bahkan cenderung membuka kesempatan bagi adanya elit di lingkungan kekuasaan untuk korupsi. Dan adanya kecenderungan penyimpangan politik oleh penguasa dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Keadaan ini menjadi semakin melenceng jauh, ketika salah satu asisten pribadi (aspri) presiden Soeharto yaitu Ali Moertopo dengan potensi partnernya, melakukan manuver politik yang menjungkir balikkan keinginan dan tujuan dari rentetan aksi protes mahasiswa pada tahun tujuh puluhan.
Sadar akan besarnya potensi kritis yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa rezim Orde Baru secara sistematis mulai melakukan kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan yang secara teoritis-praksis dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan polisi, atau penanam ideologi.
Untuk menjawab persoalan mendasar tersebut, PMII memberikan pertimbangan beberapa pemikiran di bawah ini:
1. Mahasiswa perlu mengembangkan pemikiran-pemikiran yang lebih kritis dan analitis dalam menghadapi setiap persoalan masyarakat dan secara tajam memiliki kepekaan dalam melihat dimensi di belakang munculnya realitas di masyarakat seperti nilai, kepentingan, dan kekuasaan.
2. Mahasiswa perlu meningkatkan kepekaan dan kepeduliaan sosialnya, yakni sadar akan siapakah yang diuntungkan oleh pemikirannya atau meningkatkan pemihakannya (para masyarakat lapis bawah).
3. Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh aktivis KAMI dan lainnya yang dulu memimpikan hasil yang sukses dan konkrit dari perjuangan TRI-TURA dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan kenyataannya hasil dari perjuangan itu semakin lama semakin menipis, berhubung dengan perbedaan-perbedaan motivasi dan background dari kekuatan-kekuatan pendukung Orde Baru.
Selain itu, PB PMII mengeluarkan surat pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintahan saat terjadi pengadilan mahasiswa (merupakan pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra kampus).
Pada tahun 1974, ketika NU telah melakukan fusi politik dengan partai-partai Islam lain dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan), maka deklarasi Independensi (1972) di Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena memang harus menegaskan visinya bukan sebagai bagian dari partai politik.
Selama kurun masa (80-90-an), kepengurusan di PMII dan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra lainnya semisal HMI, IMM, PMKRI, GMNI, dan GMKI adalah alat, sarana sebagai batu loncatan untuk menduduki kursi-kursi di KNPI yang didukung oleh pemerintah (Orde Baru). Nyata-nyatanya hanya organisasi-organisasi pro-pemerintah yang pada akhirnya mendapatkan kursi di KNPI dan selanjutnya kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan mendapatkan tempat dalam kultur politik Orde Baru yang sangat nepotis . Artinya, antrian menuju kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan melalui strategi lain yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu tatkala HMI yang menjadi (rival utamanya) selama ini justru sedang bermesraan dengan rezim Orde Baru melalui politik ijo royo-royo, di mana lebih dari 300 orang anggota MPR RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama-sama organ-organ mahasiswa Forum Cipayung minus HMI mendirikna sebuah forum bernama Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) sebagai bentuk keprihatinan atas mengentalnya politik aliran di Indonesia yang ditandai dengan semakin massifnya kelompok-kelompok yang tergabung di dalam ICMI dengan mengusung representasi Islam yang mayoritas di dalam kekuasaan. Dengan dukungan Orde Soeharto, ICMI melakukan ekspansi ke berbagai lini dengan mengusung isu Islamisasi, baik di sektor ekonomi dengan mendirikan Bank Muamalat, di Media dengan mendirikan Republika yang diasumsikan sebagai koran Islam, maupun permodalan dengan mendirikan BPR-BPR Syariah. Di sektor ekonomi, isu yang diusung adalah kemandirian ekonomi umat dan anti cina, sebagai kelompok yang dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap pemerintahan rezim Orde Baru adalah gerakan mahasiswa dipenghujung dekade 1990-an, dimana PMII berdiri di barisan paling depan dalam menghancurkan rezim Orde Baru, sebagaimana NU juga berdiri di barisan paling depan dalam mengganyang PKI pada paruh kedua tahun 1960-an.

3. PMII Pasca Orde Baru (Era Reformasi)
Dimulai dengan kriris ekonomi 1997 yang melanda kawasan Asia (termasuk Indonesia) menyebabkan situasi dalam negeri semakin runyam. Pembangunan Orde Baru yang dikesankan berhasil ternyata rapuh akibat korupsi dan anti demokrasi  yang dipraktekkan penguasa. Situasi semakin runyam dan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat terus bergelora hingga mampu membuat banyak menteri Seoharto mengundurkan diri. Demonstrasi besar-besaran yang diantaranya dipelopori oleh gerakan mahasiswa itu menuntut Soeharto mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kacaunya Indonesia dengana meneriakkan yel-yel revolusi. Peristiwa Tri Sakti pertengahan Mei 1998 tentara menembaki mahasiswa. Huru-hara, pembakaran gedung, pemerkosaan terhadap etnis China dan penculikan aktivos mewarnai peristiwa tersebut dan membuat keadaan tambah kacau. Demonstrasi mahasiswa semakin tidak bisa dikendalikan. Tuntutan revolusi terus menggema.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dan memberikan mandat kepada Habibie. Tahun 1998 menjadi babak baru Indonesia dengan tumbangnya Orde Baru dan dimulailah masa reformasi. PMII menjadi salah satu aktor utama dalam gerakan reformasi dengan sudah lama aktif dalam gerakan rakyat melawan pemerintah yang korup dan menindas. Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran yang dipopulerkan masa Sahabat Muhaimin Iskandar (1994-1997) menjadi benar-benar mampu menggerakkan kader PMII di ranah gerakan massa rakyat. Banyak kader PMII terlibat dalam pembelaan rakyat. Figur KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU sekaligus tokoh penggerak Forum Demokrasi (Fordem) menjadi lokomotif gerakan anak muda NU seperti PMII. Reformasi yang digerakkan membawa cita-cita demokratisasi, supremasi hukum, perbaikan ekonomi, cabut dwi fungsi ABRI (sekarang TNI), adili Soeharto dan kroni-kroninya.
Konsekuensi era reformasi adalah kebebasan berekspresi yang menyentuh semua lini problem kehidupan masyarakat. Bukan hanya terbatas pada persoalan bagaimana menyuarakan ketidak puasan kebutuhan hidup, namun menjamah pada ideologi yang menjadi prinsip dan tuntutan hidup. Tidak sedikit perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip perdamaian mewarnai layar kaca. Bahkan yang lebih tragis tindakan-tindakan tersebut disandarkan pada ajaran agama tertentu. Tidak hanya berhenti disana, cita-cita ideology yang tumbuh menjamur pasca reformasi diformalisasikan dalam bentuk perjuangan partai dengan tujuan untuk mengambil alih kepemimpinan Indonesia. Misalnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan cita-cita mengganti asas Negara Indonesia pada pada asas Islam. Kenyataan demikian, ketika menengok pada sejarah penerimaan umat Islam terhadap asas pancasila menjadi sebuah keresehan tersendiri. Di satu sisi, ketika pergantian asas tersebut benar-benar terjadi, maka prediksi keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia akan mendapatkan ancaman. Sedangkan disisi lain, gerakan-gerakan yang dilakukan mulai dari penataan basis sampai pada koalisi pendudukan antar parpol.
Di era reformasi pula, secara mengejutkan, dalam Sidang Umum MPR, Oktober 1999, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden RI ke-4. Naiknya Gus Dur sebagai Presiden di satu sisi membawa kebahagiaan bagi PMII karena cita-cita gerakan reformasi yang PMII dan elemen fordem suarakan bisa diwujudkan melalui jalur dalam istana, dan terbukti Gus Dur melakukan itu seperti pemisahan TNI dan Polri, memberikan kemerdekaan beragama, berbudaya dan berkeseniaan kepada etnis Tionghoa, menghukum para koruptor, melakukan rekonsiliasi dengan para keluarga korban G 30 S PKI, dan lawatan politik Gus Dur ke luar negeri untuk bertahannya NKRI dan pemulihan ekonomi dan keamanaan dalam negeri. Namun, Gus Dur tidak bertahan lama, karena pada Juli 2001, dalam Sidang Istimewa MPR melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Pada saat Gus Dur menjadi presiden, PMII tetap berada di jalan yang benar untuk membela kebenaran demi kebaikan bangsa. Pada saat ini pula paradigma PMII yang semula Menggiring Arus Masyarakat Pinggiran oleh Sahabat Saiful Bahri Anshori (Ketua Umum PB PMII periode 1997-2000) diganti menjadi Paradigma Kritis Transformatif. Hal itu bisa dilihat dari draft Materi Kongres PMII ke-13 di Medan tahun 2000.
Di samping itu, era ini juga terjadi serangan aksi terorisme dan kekerasan atas nama agama. Bom Legian, Marriot, Kuningan, Kuta dan BEJ membuat keamaan Indonesia benar-benar menegrikan. Orang-orang agak khawatir keluar rumah apalagi menginap di hotel milik asing. Isu yang diusung dalam setiap aksi ini adalah melawan Amerika dan sekutunya. Era globalisasi ternyata menjadi era pertarungan terbuka berbagai kelompok ideologi. PMII dalam hal ini senantiasa mengampanyekan Islam Indonesia yang toleran dan moderat. 
Situasi Indonesia memang mengalami banyak perubahan mendasar, apalagi ketika dilakukan amandemen UUD 45 sampai empat tahap. Dan tantangan globalisasi neo-liberalisme menjadi nyata dengan dimulainya perdagangan bebas AFTA tahun 2003 dan ACFTA tahun 2010. PMII dituntut mampu melakukan penataan ke dalam dan keluar sekaligus.

I. DAFTAR NAMA KETUA UMUM PB PMII
Berikut ini daftar nama-nama Ketua Umum PB PMII dari masa ke masa sesuai dengan urutan periode tahun kepemimpinan:
1. Sahabat M. Mahbub Djunaidi (1960-1966) dua kali
2. Sahabat Zamroni (1966-1973) dua kali
3. Sahabat Abduh Paddare (1973-1977)
4. Sahabat Ahmad Badja (1977-1981)
5. Sahabat Muhyiddin Arubusman (1981-1985)
6. Sahabat Surya Dharma Ali (1985-1988)
7. Sahabat M. Iqbal Assegaf (1988-1991)
8. Sahabat Ali Masykur Musa (1991-1994)
9. Sahabat A. Muhaimin Iskandar (1994-1997)
10. Sahabat Saiful Bahri Anshori (1997-2000)
11. Sahabat Nusron Wahid (2000-2003)
12. Sahabat A. Malik Haramain (2003-2005)
13. Sahabat Hery Haryanto Azumi (2005-2008)
14. Sahabat M. Rodli Kaelani (2008-2010)

J. PENUTUP
Dari uraian panjang tersebut di atas jelaslah bahwa PMII merupakan komunitas penting bagi bangsa ini. Maka, PMII dituntut harus mampu tetap memberikan dharma bhaktinya kepada nusa, bangsa dan agama. Kritik konstruktif dan mitra pembangunan yang cerdas terhadap pemerintah supaya menjalankan pemerintahan dengan baik dan benar (kalau tidak bisa ya lebih baik turun atau diturunkan), dan mendidik anggotanya untuk mandiri dan berani bersaing dengan siapapun agar survive dalam percaturan kehidupan globalisasi yang sangat kompetitif, menjadi agenda utama yang harus segera dilaksanakan.
Di situlah, pendekatan Multilevel Strategi Kaderisasi yang ditempuh PMII menjadi ikhtiar organisasi untuk mencetak kader-kader yang mampu percaya diri untuk meraih keberhasilan cita-cita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar