A. PENDAHULUAN
Sejarah masa lalu adalah
cermin masa kini dan masa datang. Dokumen historis, dengan demikian merupakan
instrumen penting untuk mengaca diri. Tidak terkecuali PMII. Meski dokumen yang
disajikan dalam tulisan ini terbilang kurang komplit, sosok organisasi
mahasiswa tersebut sudah tergambar jelas berikut pemikiran dan sikap-sikapnya.
Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai referensi
atau cerminan masa kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak
perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin serta membangun kebangsaan yang
lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah dicita-citakan.
PMII, yang sering kali
disebut Indonesian Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan
Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang juga
anak dari NU. Status anak cucu inipun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang
dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khodjijah pada tanggal
17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H, sebagai organisasi
underbow Partai NU. Dalam perkembangannya PMII menjadi organisasi independen
dan menekankan diri sebagai organisasi pergerakan, dengan tujuan menciptakan
pribadi Muslim yang memiliki komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan
Indonesia (Pasal 4 AD/ART). Struktur organisasi PMII meliputi Pengurus Besar,
Koordinator Cabang (Provinsi), Cabang (Kabupaten/Kota), Komisariat (Kampus) dan
Rayon (Fakultas). Proses berorganisasi diatur melalui berbagai jenis rapat
mulai dari Kongres (nasional) hingga RTAR.
B. LATAR BELAKANG BERDIRINYA PMII
Latar belakang berdirinya
PMII terkait dengan kondisi politik pada PEMILU 1955, berada di antara kekuatan
politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU. Partai MASYUMI yang
diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat itu
ternyata gagal. Serta adanya indikasi keterlibatan MASYUMI dalam pemberontakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta
(PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan MASYUMI (1958). Hal
inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak enjoy
beraktivitas di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga
mahasiswa NU terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan
NU”, dan di samping organisasi kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan
MASYUMI), SEMMI (dengan PSII), IMM (dengan Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan
KMI (dengan PERTI), CGMI (dengan PKI).
Proses kelahiran PMII
terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir
pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU
demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek psikologis dan
intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah tersendiri.
Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdhatul Ulama (IMANU) pada Desember 1955
di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya
Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll.
Namun akhirnya IMANU tidak
berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal itu cukup
beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal 24
Februari 1954, “apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu merangkak
dengan baik sudah menyusul bayi baru yang minta diurus dan dirawat dengan baik
lagi.”
Dibubarkannya IMANU tidak
membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi semakin mengobarkan
semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga pada
Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah langkah kompromi
oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi IPNU untuk menampung
aspirasi mahasiswa NU. Namun setelah disadari bahwa departemen tersebut tidak
lagi efektif, serta tidak cukup kuat menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak
terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktural PP IPNU), akhirnya pada
Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati berdirinya
organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan
IPNU. Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor
untuk mengadakan musyawarah diantaranya adalah:
1. A. Cholid Mawardi (Jakarta).
2. M. Said Budairi (Jakarta).
3. M. Subich Ubaid (Jakarta).
4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung).
5. Hilman (Bandung).
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta).
7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta).
8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
9. Laili Mansur (Surakarta).
10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
11. Hizbullah Huda (Surabaya).
12. M. Cholid Marbuko (Malang).
13. Ahmad Husein (Makassar).
2. M. Said Budairi (Jakarta).
3. M. Subich Ubaid (Jakarta).
4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung).
5. Hilman (Bandung).
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta).
7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta).
8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
9. Laili Mansur (Surakarta).
10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
11. Hizbullah Huda (Surabaya).
12. M. Cholid Marbuko (Malang).
13. Ahmad Husein (Makassar).
Seperti diuraikan oleh
sahabat Chotibul Umam (mantan Rektor PTIQ Jakarta yang juga generasi pertama
PMII), pra melaksanakan Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin tersebut, terlebih
dahulu 3 dari 13 orang sponsor pendiri itu, yaitu Hisbullah Huda (Surabaya),
Said Budairy (Jakarta), dan Maksum Syukri (Bandung) pada tanggal 19 Maret 1960
berangkat ke Jakarta menghadap Ketua Umum Partai Nahdlatul ulama (NU) yaitu KH.
Idham Khalid untuk meminta nasehat sebagai pegangan pokok dalam musyawarah yang
akan dilaksanakan. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk,
sekaligus harapan agar menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip ilmu
untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada Allah SWT. Salah
satu pesan KH. Idham Khalid yang menjadi pegangan bagi mahasiswa nahdliyin pada
waktu itu yaitu hendaknya organisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat
diandalkan, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ‘ilmu untuk di amalkan’ bagi
kepentingan rakyat, bukan ‘ilmu untuk ilmu’. Lalu berkumpulah tokoh-tokoh
mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas tentang
nama organisasi yang akan dibentuk.
Akhirnya, pada tanggal 14-16
April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU bertempat di Taman
Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari berbagai
penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta,
Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan
Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi
yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau
Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama
PMII.
Selanjutnya nama PMII yang
menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan
dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P”
merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta memilih dan menetapkan Kepengurusan. Terpilih
Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, M. Chalid Mawardi sebagai Ketua I,
dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga orang tersebut diberi
amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.
Unsur pemikiran yang
ditonjolkan pada organisasi PMII yang akan berdiri pada waktu itu adalah:
1.
Mewujudkan adanya
kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa, khususnya karena pada waktu itu
situasi nasional sedang diliputi oleh semangat revolusi;
2.
Menampakkan identitas
ke-Islaman sekaligus sebagai konsepsi lanjutan dari NU yang berhaluan ahlu
sunnah wal jamaah juga berdasarkan perjuangan para wali di pulau jawa yang
telah sukses dengan dakwahnya. Mereka sangat toleran atas tradisi dan budaya
setempat. Sehingga dengan demikian ajaran-ajarannya bersifat akomodatif.
3.
Memanifestasikan
nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus
tercantum.
PMII dideklarasikan secara
resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17
Syawwal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960
dinyatakan sebagai hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal
14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh PBNU. Sejak saat itu PMII
memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya secara
formal organisatoris.
Dalam waktu yang relatif
singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13 cabang yang
tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU. Dalam
perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan politik serta
dinamika perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan keagamaan di Indonesia
(1960-1965).
Pada 14 Desember 1960 PMII
masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di Yogyakarta
sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra
universitas. Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga
terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti pada bulan September
1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda Sedunia
(Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet. Tahun
1962 menghadiri seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur,
Malaysia. Festival Pemuda Sedunia di Helsinki, Irlandia dan seminar General
Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo, Mesir.
Di
dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan,
terbukti pada tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan
Tinggi Syarif Thoyyib kepada berbagai aktifis mahasiswa untuk membicarakan
situasi nasional saat itu, sehingga dalam ujung pertemuan disepakati
terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari PMII,
HMI, IMM, SEMMI, dan GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan
mahasiswa Indonesia dalam melawan rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan
yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII dipercaya sebagai Ketua
Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di posisi strategis menjadi bukti
diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk semakin pro aktif dalam
menggelorakan semangat juang demi kemajuan dan kejayaan Indonesia.
Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan
TRITURA dikarenakan persoalan tersebut yang paling dominan menentukan arah
perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang dilakukan KAMI adalah penumbangan
rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru, yang pada awalnya
diharapkan untuk dapat mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
Orde Lama dan bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni
dan konsekuen sebagai cerminan dari pengabdian kepada rakyat.
Pemikiran-pemikiran PMII
mengenai berbagai masalah nasional maupun internasional sangat relevan dengan
hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain yaitu :
1.
Kongres I Solo, 23-26
Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang mengangkat tema
Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Tanggungjawabnya
sebagai generasi penerus bangsa.
2. Kongres II di
Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan dikenal
sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan Ponorogo
1962 (sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU).
Secara totalitas
PMII sebagai organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan melahirkan
kader-kader bangsa yang mempunyai integritas diri sebagai hamba yang bertaqwa
kepada Allah SWT dan atas dasar ketaqwaannya berkiprah mewujudkan peran ketuhanannya
membangun masyarakat bangsa dan negara Indonesia menuju suatu tatanan
masyarakat yang adil dan makmur dalam ampunan dan ridlo Allah SWT).
Sedangkan pengertian Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang
menjadi paham organisasi adalah Islam sebagai universalitas yang meliputi
segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan kedalam
tata Aqidah, Syariah, dan Tasyawuf. Dalam bidan Aqidah mengikuti paham
Al-Asya’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang syariah mengikuti salah satu mazhab
empat yaitu: Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Sedang dalam bidang Tasawuf,
mengikuti Imam Juned Al-Bagdadi dan Imam Al-Gozali. Masing-masing ketiga aspek
itu dijadikan paham organisasi PMII dengan tanpa meninggalkan wawasan dasar
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perilaku sahabat Rasul. Aspek Fiqih diupayakan
penekanannya pada proses pengambilan hukum, yaitu Ushul Fiqih dan Kaidah Fiqih,
bukan semata-mata hukum itu sendiri sebagai produknya (lihat NDP PMII).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa para
mahasiswa nahdliyin sebenarnya dari segi cara berfikir tidak jauh berbeda
dengan mahasiswa pada umumnya, yang menghendaki kebebasan. Sedangkan dalam
bertindak cenderung anti kemapanan, terlebih jika kelahiran PMII itu
dihubungkan dengan tradisi keagamaan di kalangan NU, misalnya bagi putra-putri
harus berbeda/dipisah organisasi, PMII justru keluar dari tradisi itu. Fenomena
ini barangali termasuk hal yang patut mendapat perhatian bagi perkembangan
pemikiran ahlussunnah wal-jama’ah.
Adapun susunan pengurus pusat PMII periode pertama ini
baru tersusun secara lengkap pada bulan Mei 1960. Seperti diketahui, bahwa PMII
pada awal berdirinya merupakan organisasi mahasiswa yang dependen dengan
NU , maka PP. PMII dengan surat tertanggal 8 Juni 1960 mengirim surat permohonan
kepada PBNU untuk mengesahkan kepengurusan PP PMII tersebut. Pada tanggal 14
Juni 1960 PBNU menyatakan bahwa organisasi PMII dapat diterima dengan sah
sebagai keluarga besar partai NU dan diberi mandat untuk membentuk
cabang-cabang di seluruh Indonesia, sedang yang menandatangani SK tersebut
adalah DR. KH. Idham Chalid selaku ketua Umum PBNU dan H. Aminuddin Aziz selaku
wakil sekretaris jendral PBNU ).
Musyawarah mahasiswa nahdliyin di Surabaya yang dikenal
dengan nama PMII, hanya menghasilkan peraturan dasar organisasi, maka untuk
melengkapi peraturan organisasi tersebut dibentuklsn satu panitia kecil yang
diketuai oleh sahabat M. Said Budairi dengan anggota sahabat Chalid mawardi dan
sahabat Fahrurrazi AH, untuk merumuskan peraturan rumah tangga PMII. Dalam
sidang pleno II PP PMII yang diselenggarakan dari tanggal 8 - 9 September 1960,
Peraturan rumah tangga PMII dinyatakan syah berlaku melengkapi paraturan dasar
PMII yang sudah ada sebelumnya)
Di samping itu, sidang pleno II PP PMII juga mengesahkan
bentuk muts (topi), selempang PMII, adapun lambang PMII diserahkan kepada
pengurus harian, yang akhirnya dipuruskan bahwa lambang PMII berbentuk perisai
seperti yang ada sekarang (rincian secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran
peraturan rumah tangga PMII). Dalam sidang ini pula dikeluarkan pokok-pokok
aturan mengenai penerimaan anggota baru ) sekarang dikenal dengan MAPABA.
Pada tahap-tahap awal berdirinya PMII banyak dibantu
warga NU terutama PP LP. Ma’arif NU. Sejak musyawarah mahssiswa nahdliyin di surabaya
sampai memberikan pengertian kepada Pesantren-pesantren (perlu diketahui, pada
awal berdirinya, di Pondok-pondok Pesantren dapat dibentuk PMII dengan anggota
para santri yang telah lulus madrasah Aliyah dan seang mengkaji kitab yang
tingkatannya sesuai dengan pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi agama).
Dengan adanya kebijakan seperti ini ternyata dapat mempercepat proses
pengembangan PMII).
C. KENAPA BERNAMA PMII?
Nama PMII merupakan usulan
dari delegasi Bandung dan Surabaya yang mendapat dukungan dari utusan
Surakarta. Nama PMII juga mempunyai arti tertentu.
1. Makna
“Pergerakan” yang terkandung dalam PMII adalah Dinamika dari hamba
(makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat
bagi alam sekitarnya. Dalam konteks individual, komunitas maupun organisatoris,
kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang
labih baik sebagai perwujudan tanggung jawabnya memberi rahmat pada
lingkungannya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa
menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan
potensi kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada didalam
kualitas ke khalifahannya.
2. Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda yang
menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri
mahasiswa terbangun oleh citra sebagai Insan Religius, Insan Akademis, Insan
Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas tersebut terpantul tanggungjawab
keagamaan, intelektualitas, sosial-kemasyarakatan dan tanggungjawab individu
sebagai hamba Allah maupun sebagai warga Negara.
3. Makna “Islam” yang dimaksud di sini Islam ala
Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam
secara proporsional terhadap Iman, Islam dan Ihsan, yang di dalam pola pikir
dan pola perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.
Pengertian “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang
dipahami dengan paradigma ahlussunnah waljama’ah yaitu konsep pendekatan
terhadap ajaran agama Isalam secara proporsional antara Iman. Islam dan Ihsan
yang di dalam pola pikir dan pola perilakunya tercermin sifat-sifat selektif,
akomodatif dan integratif.
4. Makna “Indonesia”
adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan
ideologi bangsa serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan
asas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
D. ASAS, SIFAT DAN TUJUAN PMII
Dalam Anggaran
Dasar (AD) Bab II Pasal 2 dijelaskan bahwa PMII Berasaskan Pancasila.
Sedangkan Bab III Pasal 3 menerangkan PMII bersifat keagamaan, kemahasiswaan,
kebangsaan, kemasyarakatan, independensi dan profesional.
Adapun tujuan PMII (Visi) ada dalam Bab IV Pasal 4 yaitu:
”Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi
luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan
komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.”
Sedangkan untuk mewujudkan tujuan tersebut, PMII
mengusakan (misi) sebagaimana dalam Bab IV pasal 5, sebagai berikut:
1.
Menghimpun dan
membina mahasiswa Islam sesuai dengan sifat dan tujuan PMII serta peraturan
perundang-undangan dan paradigma PMII yang berlaku.
2.
Melaksanakan
kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang sesuai dengan asas dan tujuan PMII
serta mewujudkan pribadi insan ulul albab.
E. STRUKTUR ORGANISASI DAN PERMUSYAWARATAN
Dalam Bab VI tenang Struktur Organisasi
Pasal 7 dijelaskan bahwa Struktur Organisasi PMII terdiri atas:
1. Pengurus Besar (PB)
2. Pengurus Koordinator Cabang (PKC)
3. Pengurus Cabang (PC)
4. Pengurus Komisariat (PK)
5. Pengurus rayon (PR).
Sedangkan dalam Bab VII tentang
Permusyawaratan Pasal 8 diterangkan bahwa Permusyawaratan dalam Organisasi
terdiri dari :
1.
Kongres
2.
Musyawarah Pimpinan
Nasional (Muspimnas)
3.
Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas)
4. Konferensi Koordinator Cabang (Konferkoorcab)
5. Musyawarah
Pimpinan Daerah (Muspimda)
6. Musyawarah
Kerja Koordinator Cabang (Mukerkoorcab)
7. Konferensi
Cabang (Konfercab)
8. Musyawarah
Pimpinan Cabang (Muspimcab)
9. Rapat
Kerja Cabang ( Rakercab )
10. Rapat
Tahunan Komisariat (RTK)
11. Rapat Tahunan Anggota Rayon (RTAR)
12. Kongres
Luar Biasa (KLB)
13. Konferensi Koordinator Cabang Luar Biasa
(Konferkoorcab-LB)
14. Konferensi Cabang Luar Biasa
(Konfercab-LB)
15. Rapat Tahunan Komisariat Luar Biasa
(RTK-LB)
16. Rapat Tahunan Anggota Rayon Luar Biasa (
RTAR-LB).
Dalam Bab VIII tentang Wadah Pengembangan
Dan Pemberdayaan Perempuan Pasal 9 dinyatakan bahwa:
1.
Pengembangan
dan pemberdayaan perempuan diwujudkan dalam badan semi otonom yang secara
khusus menangani pengembangan dan pemberdayaan perempuan PMII berpersfektif
keadilan dan kesetaraan gender yang dibentuk berdasarkan asas lokalitas
kebutuhan.
F. LAMBANG PMII
Lambang PMII diciptakan oleh H. Said Budairi. Lazimnya lambang, lambang PMII
memiliki arti yang terkandung di setiap goresannya. Arti dari lambang PMII bisa
dijabarkan dari segi bentuknya (form) maupun dari warnanya.
1. Dari Bentuk :- Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh luar
- Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita- cita yang selalu memancar
- Lima bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah dengan empat Sahabat terkemuka (Khulafau al Rasyidien)
- Empat bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhauan Ahlussunnah Wal Jama’ah
- Sembilan bintang sebagai jumlah bintang dalam lambing dapat diartikan ganda yakni :
- Rasulullah dan empat orang sahabatnya serta empat orang Imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
- Sembilan orang pemuka penyebar agama Islam di Indonesia yang disebut WALISONGO.
- Biru, sebagaimana warna lukisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.
- Biru muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berarti ketinggian ilmu pengertahuan, budi pekerti dan taqwa.
- Kuning, sebagaimana warna dasar perisai- perisai sebelah bawah, berarti identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar pergerakan lambing kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.
G. HUBUNGAN PMII DENGAN NU
1.
Dependensi atau Underbaw Partai NU (1960-1972)
Awal mula berdirinya PMII
nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat Partai NU. Hal ini
terlihat jelas dalam aktifitas PMII antara tahun 1960-1972 (pra PMII menyatakan
Independen) sebagian besar program-programnya berorientasi politis. Ada beberapa
hal yang melatar belakangi, diantaranya: Pertama, adanya anggapan bahwa
PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader muda partai NU, sehingga
bangunan gerakan dan aktifitas selalu diorientasikan untuk menunjang gerak dan
langkah partai NU.
Kedua, suasana
kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu sangat kondusif untuk
gerakan-gerakan politis, sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi
policy pemerintahan Orde Lama (Orla). Dan PMII sebagai bagian dari komponen
bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam konstelasi politik seperti itu.
Lebih jauh Sahabat Mahbub
Djunaidi (Ketua Umum PB PMII Pertama) mengatakan “Mereka bilang mahasiswa yang
baik adalah mahasiswa non-partai, bahkan non-politis, yang berdiri diatas semua
golongan, tidak kesana, tidak kesini, seperti seorang mandor yang tidak
berpihak. Sebaliknya kita beranggapan, justru mahasiswa itulah yang harus
berpartisipasi secara konkrit dengan kegiatan-kegiatan partai politik”.
Pada saat PMII berhasil
mengadakan konsolidasi ke dalam tubuh organisasi, baik tubuh pengurus maupun
anggota, pada waktu bersamaan pula PMII telah melakukan upaya-upaya nasional.
Diantaranya sewaktu Persatuan Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia
(PORPISI) masih hidup. PMII yang menjadi salah satu anggotanya turun aktif di
dalamnya. Di samping itu PMII berkiprah dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), yakni satu komando yang bertujuan menggayang paham komunis di bumi
Indonesiadan menjaga keamanan negara dan bangsa. Di samping upaya-upaya nasional,
PMII juga berpartisipasi dalam kegiatankegiatan Internasional. Di antaranya
pada bulan September 1960 PMII ikut serta dalam Konferensi Pembentukan Panitia
Internasional Forum Pemuda se-Dunia di Moscow (Constituent Meeting of the
Youth Forum). Pada pertengahan tahun 1962 PMII mengikuti
seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur. Tahun 1962 juga, selama tiga (3) bulan,
PMII berkesempatan menghadiri Festival Pemuda se-Dunia di Helsniki, Finlandia.
Pada tahun 1965 ikut serta menghadiri seminar Internasional mengkaji masalah
Palestina di Kairo, yang diselenggarakan oleh General Union of Palestine
Student (GUPS).
2. Independensi (1972-1991)
Seiring dengan perjalanan
waktu, perubahan dalam kehidupan tidak dapat terelakkan. Setelah keluarnya SUPERSEMAR
1966, kegiatan demonstrasi massa menurun, hingga akhirnya dilarang sama sekali.
Mahasiswa diperintahkan untuk back to campus. Kondisi yang demikian menggeser
posisi strategis KAMI menjadi termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk
mengadakan beberapa rapat mulai 1967 di Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969
dengan membahas National Union of Student. Namun usaha-usaha yang dilakukan
menemui jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar dan beberapa anggotanya kembali
pada organisasi yang semula.
Jatuhnya orde lama dan naiknya Soeharto sebagai rezim
orde baru membawa kepada perubahan politik dan pemerintahan yang cukup
signifikan setelah Soekarno sebelumnya membubarkan Masyumi, orde baru juga
berobsesi untuk mengurangi partai politik yang berbau ideologi dengan
mendirikan partai untuk menopang keuasaannya sendiri. Kebijakan pemerintahan
orde baru diatas telah menempatkan pemerintahan sebagai wilayah kauasaan yang
tidak bisa dijamah dan dikritisi oleh masyarakat.
PMII tetap melakukan
gerakan-gerakan moral terhadap kasus dan penyelewengan yang dilakukan oleh
penguasa. Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan Partai Golkar
dengan dukungan dari ABRI. Perubahan konstalasi politik pun terjadi perlahan
dan pasti. Partai-partai politik Islam termasuk NU dimarjinalkan dan
dimandulkan dengan mau digabung dalam stau partai (kemudian bernama Partai
persatuan Pembangunan). PMII kalau masih menjadi underbaw Partai NU maka dengan
sedirinya akan menjadi underbaw PPP. Dan di sisi lain kondisi intern NU dilanda
konflik internal.
Fenomena di atas menuntut
PMII mampu melakukan pembacaan secara jeli tentang dirinya ditengah upaya
pemerintah untuk melakukan upaya-upaya pengkerdilan terhadap setiap komponen
masyarakat-bangsa termasuk partai politik selain golkar. Dari hasil pembacaan
itu bahwa apabila PMII tetap bernaung dibawah NU yang masih berada pada wilayah
politik praktis, maka PMII akan mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai
ormas mahasiswa. Atas dasar pertimbangan inilah pada MUBES V tanggal 14 Juli
1972 di Munarjati Malang, PMII memutuskan untuk menjadi organisasi yang
independen yang tertuang dalam deklarasi Munarjati. Dengan ini PMII sebagai
tidak terikat pada sikap dan tindakan siapapun dan hanya komitmen dengan
perjuangan organisasi serta cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan
pancasila.
Harus diakui bahwa sejarah
paling besar dalam PMII adalah ketika dipergunakannya independensi dalam
Deklarasi Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES III tersebut, dilakukan
rekonstruksi perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-rugi ketika PMII
tetap bergabung (dependen) pada induknya (NU). Namun sejauh itu pertimbangan
yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII sebagai organisasi kepemudaan
ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini terlihat jelas dari tiga butir
pertimbangan yang melatarbelakangi Independensi PMII tersebut.
- Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan insan Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab, serta cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
- Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk ikut bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
- Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, sikap keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII menyatakan diri
sebagai organisasi independen, tidak terikat baik sikap maupun tindakan dengan
siapapun, dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita
perjuangan nasional, yang berlandaskan Pancasila.
Deklarasi Murnajati tersebut kemudian ditegaskan kembali
dalam Kongres V PMII di Ciloto, 28 Desember 1973. Dalam bentuk Manifesto
Independensi PMII yang terdiri dari tujuh butir, salah satu butirnya berbunyi:
“…bahwa pengembangan sikap kreatif, keterbukaan dan pembinaan rasa
tanggungjawab sebagai dinamika gerakan dilakukan dengan bermodal dan bersifat
kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan
cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.”
Sampai di sini, belum dijumpai adanya motif lain dari
independensi itu, kecuali proses pendewasaan. Hal ini didukung oleh manifesto
butir terakhir, yang menyatakan bahwa “dengan independensi PMII tersedia adanya
kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita
perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal
Jamaah.”
Kondisi sosio-akademis, PMII dengan independensinya lebih
membuktikan keberadaan dan keabsahannya sebagai organisasi mahasiswa, kelompok
intelektual muda yang sarat dengan idealisme, bebas membela dan berbuat untuk
dan atas nama kebenaran dan keadilan. Dan bersikap bahwa dunia akademis harus
bebas dan mandiri tidak berpihak pada kelompok tertentu. Sedangkan Cholid
Mawardi dalam menyikapi independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia
khawatir PMII tidak lagi memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU.
Pada periode 1980-an PMII yang mulai serius masuk dan
melakukan pembinaan di perguruan tinggi menemukan kesadaran baru dalam
menentukan pilihan dan corak gerakannya. Bersamaan dengan Khittah 1926 NU pada
tahun 1984 dan diterimanya pancasila sebagai asas tunggal, PMII telah membuat
pilihan-pilihan peran yang cukup strategis. Dikatakan strategis karena
menentukan pilihan pada tiga hal yang penting, yaitu:
1.
PMII memberikan
prioritas pada upaya pengembangan intelektualitas.
2.
PMII menghindari
keterlibatannya dengan politik praktis, baik secara langsung atau tidak, dan
bergerak pada wilayah pemberdayaan Civil Society.
3.
Memilih mengembangkan
paradigma kritisisme terhadap negara. Pilihan-pilihan tersebut membuat PMII
selalu berjarak dengan struktur-struktur kekuasaan politik maupun pemerintahan.
Meskipun independensi ini diliputi dengan pro-kontra yang
semakin tajam. Akan tetapi PMII justru memilih independensi sebagai pilihan
hidup dan mengukuhkan Deklarasi Murnajati dalam Kongres Ciloto, Medan tahun
1973 yang tertuang dalam Manifesto Independensi PMII. Maka sejak 28 Desember
1973 secara resmi PMII independen dan memulai babak baru dengan semangat baru
menuju masa depan yang lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara
strukutural dari NU, tetapi tetap merasa terikat secara kultur dengan ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi pergerakan.
PMII secara resmi bergabung dengan Kelompok Cipayung (22
Januari 1972) satu tahun setelah Kongres Ciloto, yaitu pada Oktober1974, di
bawah kepemimpinan Ketua Umum Drs. HM. Abduh Padare. Dan bergabung secara riil
pada Januari 1976 dan dipercaya untuk menyelenggarakan pertemuan ketiga.
Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung merupakan perwujudan
arah gerak PMII dalam lingkup kemahasiswaan, kebangsaan, dan keislaman.
Kerjasama dengan berbagai pihak akan terus dilakukan sejauh masih dalam bingkai
visi dan misinya. Terbukti sebelum bergabung dengan kelompok ini PMII juga
terlibat aktif dalam proses menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Setelah PMII independen, selain melakukan aktifitas
strategis dalam konstalasi nasional, PMII juga melakukan pola pengkaderan
secara sistematis yang mengacu pada terbentuknya pemimpin yang berorientasi
kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan bangsa.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Ikatan Keluarga
Alumni Pergerakan Mahasiswa Indonesia (IKAPMI) pada Musyawarah Kerja Nasional
(Mukernas) di Ciumbeuleuit, Jawa Barat, 1975. Lahirnya Forum alumni ini
merupakan upaya untuk memperkuat barisan PMII dalam gerak perjuangannya. Dan
akhirnya forum inipun disempurnakan lagi pada Musyawarah Nasional Alumni 1988
di hotel Orchid Jakarta, menjadi Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga
Alumni (FOKSIKA) PMII dan Sahabat Abduh Padere ditunjuk sebagai ketuanya.
3.
Interdependensi (1991-sekarang)
Pada perkembanagan lebih lanjut saat Kongres X, pola
hubungan PMII dengan NU menjadi interdependen, dimana PMII tetap mempunyai
perhatian khusus terhadap NU karena kesamaan kultur dan wawasan keagamaan yang
memperjuangkan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa kemungkinan hubungan
PMII–NU menjadi interdependen:
1.
Kesamaan kultur dan
pemahaman keagamaan sebagai ciri perjuangan.
2.
Adanya rekayasa
politik untuk mengembangkan kekuatan baru.
3.
Menghilangkan rasa
saling curiga antar tokoh sehingga kader-kader PMII akan lebih mudah memasuki
NU setelah tidak aktif di PMII.
Kendatipun demikian PMII memberikan catatan khusus
independensinya yaitu bahwa hubungan tersebut tetap memegang prinsip kedaulatan
organisasi secara penuh dan tidak saling intervensi baik secara struktural
maupun kelembagaan. PMII memanfaatkan hubungan interdependen ini untuk
kerjasama dalam pelaksanaan program-program nyata secara kualitatif fungsional
dan mempersiapkan sumber daya manusia.
Pada tahun 70-an hingga 90-an, dalam perkembangannya,
dunia kemahasiswaan berada dalam kondisi yang tidak kondusif, situasi back to
campus lebih riil terjadi. Kebijakan Orde Baru telah memandulkan posisi
strategis mahasiswa dan lebih didominasi oleh kekuatan militer dan Golkar. PMII
hanya sebatas mampu melakukan pengkaderan secara periodik sesuai dengan progran
kerja yang ditetapkan.
Namun awal tahun 90-an, kelompok-kelompok gerakan ekstra
universitas secara intensif melakukan diskusi-diskusi dan aksi pendampingan
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM terahadp rakyat seperti advokasi
pertanahan, penculikan aktivis, pembredelan media, dll.
H. PMII DARI MASA KE MASA
1. PMII dan Episode Akhir Orde Lama
Pada tanggal 19-26 Desember 1964 di Jakarta pernah
diadakan Musyawarah Nasional Generesi Muda Islam (GEMUIS). Musyawarah yang
gagasan awalnya muncul dari gerakan Pemuda Ansor ini, bertujuan memperkuat
ukhuwah islamiyah yang pada saat itu mengalami ujian akibat fitnah yang dilancarkan
PKI (Partai Komunis Indonesia). Hasil dari pertemuan tingkat nasional Generasi
Muda Islam ini memutuskan membentuk suatu organisasi yang bersifat
konfederatif. PMII dalam organisasi ini duduk sebagai Sekretaris Jenderal
Presidium Pusat yang diwakili sahabat Said Budairy. Musyawarah Nasional ini
sebagai reaksi atas aksi-aksi yang dilancarkan oleh antek-antek PKI khususnya
CGMI (Consentrasi Gabungan Mahasiswa Indonesia), sebuah organisasi yang
berafiliasi kepada PKI, yang kian memuncak menjelang peristiwa G.30.S/PKI.
Adapun kelahiran Orde Baru dapat dikatakan sebagai
langkah koreksi total terhadap kebijakan rezim orde Lama. Kelahiran Orde Baru
sebenarnya merupakan conditionine quanon, karena nampaknya rezim Orde Lama
sudah tidak mampu lagi berdiri secara politik apalagi secara ekonomi. Kelahiran
Orde Baru ini dipercepat lagi dengan adanya gerakan PKI yang berusaha merebut
kekuasaan melalui aksi kudeta yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan 30
September/ G.30.S/PKI .
Sebenarnya ada atau tidaknya G.30.S/PKI, Orde Baru dapat dipastikan tetap akan lahir, karena rezim Orde Lama sudah sangat salah langkah dalam mengelola negara. Politik berdikarinya menyebabkan distopnya bantuan dari luar negeri, akibatnya rakyat semakin menderita, karena laju inflasi membumbung tinggi sampai 600% dan pemangkasan mata nilai rupiah dilakukan berkali-kali, tetapi hal itu tidak mampu merubah keadaan. Suasana yang sudah kritis ini ditambah lagi dengan tindakan Orde Lama yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, yang berakibat separoh dari anggaran belanja negara tersedot untuk kepentingan politik konfrontasi tersebut.
Sebenarnya ada atau tidaknya G.30.S/PKI, Orde Baru dapat dipastikan tetap akan lahir, karena rezim Orde Lama sudah sangat salah langkah dalam mengelola negara. Politik berdikarinya menyebabkan distopnya bantuan dari luar negeri, akibatnya rakyat semakin menderita, karena laju inflasi membumbung tinggi sampai 600% dan pemangkasan mata nilai rupiah dilakukan berkali-kali, tetapi hal itu tidak mampu merubah keadaan. Suasana yang sudah kritis ini ditambah lagi dengan tindakan Orde Lama yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, yang berakibat separoh dari anggaran belanja negara tersedot untuk kepentingan politik konfrontasi tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, PKI memanfaatkan suasana
–mengail ikan di air yang keruh- dengan melemparkan isu bahwa dewan Jenderal
akan merebut kekuasaan (kudeta) dari tangan Presiden Soekarno. Dalam keadaan
seperti itu, rezim Orde Lama dihadapkan pada posisi yang serba dilematis,
disatu pihak, jika rezim ini menghukum dan membubarkan PKI, jelas akan
berhadapan dengan pemerintahan komunis di Cina yang selam ini mendukung politik
Soekarno dalam politik konfrontasi dengan Malaysia, tetapi di lain pihak, jika
tetap mempertahankan PKI jelas akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri,
terutama rakyat yang selama ini terus menerus difitnah oleh PKI.
Melihat situasi yang tdiak menentu itu, para toko dan
aktivis organisasi mahasiswa ekstra Universitas berinisiatif membentuk suatu
wadah perjuangan untuk menegakkan kembali keadilan dan menyuarakan aspirasi
rakyat Indonesia yang tertindas. Mereka tampil dengan semboyan: TRI-TURA (Tiga
Tuntutan Hati Nurani Rakyat) :
1.
Bubarkan PKI beserta
antek-anteknya.
2.
Retor Menteri-menteri
yang goblok
3.
Turunkan harga.
Gerakan itu dipimpin oleh tokoh-tokoh mahasiswa yang
tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan ketua umum
presidium pusatnya sahabat Zamroni (ketua umum PMII periode ke IV). Dengan
posisi seperti itu dapat diketahui bahwa PMII punya andil sangat besar dalam
kegiatan dan mobilisasi KAMI dalam rangka kelahiran Orde Baru.
2. PMII Pasca Kelahiran Orde Baru
Warisan yang ditinggalkan pemerintahan Orde Lama berupa
kondisi sosial-ekonomi dan politik yang tidak menentu. Seputar awal kelahiran
Orde Baru (1966) kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia benar-benar
parah.salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini adalah dengan
mengadakan senering (pengguntingan nilai mata uang), namun tidak mampu menolong
keadaan perekonomian yang memang diluar jangkauan pengelolaan pemerintah.
Selain itu, pemerintah Orde Baru di awal kebangkitannya mengeluarkan kebijakan
politik yang dikenal dengan strukturisasi ideologi dan golongan. Yang dimaksud
dengan strukturisasi ideologi dan golongan seperti yang dikemukan oleh Ali
Moertopo dalam bukunya Strategi Politik Nasional:
1. Menciptakan dan kematangan stabilitas politik.
2. Perubahan struktur politik dengan pengakuan bagi
Golkar.
3. Menciptakan
mekanisme dan infra-struktur politik yang dapat bekerjasama dengan pemerintah
dalam melansirkan usaha-usaha pembangunan.
4. Membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat banyak.
Salah satu wujud perombakan struktur politik dengan
menyeimbangkan kekuatan-kekuatan golongan fungsional (sekarang ; Golkar) dengan
kekuatan-kekuatan partai politik yang berperan dalam wadah parlemen.
implikasinya adalah menambah jumlah anggota DPR-GR pada posisi yang lebih
menguntungkan kedudukan golongan fungsional, dengan satu argumen demi menjamin
kelangsungan hidup Orde Baru dengan demokrasi Pancasila. Sudah barang tentu
tindakan berupa kebijakan pemerintah Orde Baru seperti ini sangat merugikan
partai politik. Salah satunya adalah partai NU sendiri, dengan PMII sebagai
pendukungnya.
Keterlibatan PMII dalam arus kegiatan politik praktis
justru berakibat fatal, PMII justru melupakan dirinya sebagai organisasi
kemahasiswaan yang pada hakikatnya merupakan suatu gerakan intelektual dan
gerakan moral. Tetapi dengan terseretnya PMII dalam kegiatan politik praktis
maka PMII hanyut sehingga menjadi ‘bumper politik’.
Salah satu moment penting bagi PMII pasca kelahiran Orde
Baru adalah pelaksanaan kongres IV PMII di Makassar (Ujung Pandang) pada
tanggal 25-31 April 1970, hal ini dianggap penting karena beberapa hal :
Pertama, kongres IV PMII merupakan peletak dasar perjalanan PMII pada zaman Orde Baru, bersama dengan dimulainya Rancangan Repelita I pemerintahan Orde Baru. Kedua, kongres IV PMII ini adalah merupakan kongres yang pertama diadakan di luar Jawa, yaitu di Makassar, jal ini untuk membuktikan bahwa PMII tidak hanya besar di Pulau Jawa, tetapi juga mempunyai potensi dan basis yang kuat di luar Jawa, kongres ini hadiri oleh sekitar 100 utusan Cabang PMII. Ketiga, bersama dengan pelaksanaan kongres IV PMII ini juga dilaksanakan Musyawarah Nasional yang pertama yaitu Korp PMII Puteri.
Pertama, kongres IV PMII merupakan peletak dasar perjalanan PMII pada zaman Orde Baru, bersama dengan dimulainya Rancangan Repelita I pemerintahan Orde Baru. Kedua, kongres IV PMII ini adalah merupakan kongres yang pertama diadakan di luar Jawa, yaitu di Makassar, jal ini untuk membuktikan bahwa PMII tidak hanya besar di Pulau Jawa, tetapi juga mempunyai potensi dan basis yang kuat di luar Jawa, kongres ini hadiri oleh sekitar 100 utusan Cabang PMII. Ketiga, bersama dengan pelaksanaan kongres IV PMII ini juga dilaksanakan Musyawarah Nasional yang pertama yaitu Korp PMII Puteri.
Momentum sejarah perjalanan PMII yang membawa perubahan
secara mendasar pada perjalanan selanjutnya adalah dicetuskannya “Independensi
PMII” pada tanggal 1972 di Murnajati Lawang Malang Jawa Timur, yang kemudian
kita kenal dengan “Deklarasi Murnajati” . Lahirnya deklarasi ini berkenaan
dengan situasi politik nasional, ketika peran partai politik dikebiri – bahkan
partisipasi dalam pemerintahanpun sedikit demi sedikit dikurangi – dan mulai
dihapuskan. Hal ini mulai dirasakan oleh NU yang nota bene merupakan partai
politik.
Akibat dari perubahan drastis iklim politik pemerintahan
Orde Baru dimana kehidupan politik lebih menekankan pada iklim “ketenangan”
yang tidak memungkinkan lagi bagi partai politik untuk hidup kongres IV PMII
jor-joran seperti pada masa lalu, maka kehidupan organisasi mahasiswa , apalagi
bagi organisasi mahasiswa yang dependen pada partai politik. Dampaknya pada
suasana kehidupan berorganisasi terasa pengab.
Kelahiran Orde Baru secara dramatis pada 11 Maret 1966,
menghantarkan Indonesia pada pintu harapan adanya perubahan orientasi dalam bidang
politik, ideologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Kekuatan militer pimpinan Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan dari pemuda dan mahasiswa.
Kekuatan militer pimpinan Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan dari pemuda dan mahasiswa.
Akan tetapi, masa ‘bulan madu’ penguasa baru dengan
mahasiswa tidak berumur panjang. Titik kontradiktif persepsi mulai nampak
menggeliat kepermukaan. Ketika awal 70-an mahasiswa secara kritis mengecam
rezim Orde Baru yang secara perlahan namun pasti beringsut dari komitmen awal
kelahirannya, bahkan cenderung membuka kesempatan bagi adanya elit di
lingkungan kekuasaan untuk korupsi. Dan adanya kecenderungan penyimpangan
politik oleh penguasa dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Keadaan ini
menjadi semakin melenceng jauh, ketika salah satu asisten pribadi (aspri)
presiden Soeharto yaitu Ali Moertopo dengan potensi partnernya, melakukan
manuver politik yang menjungkir balikkan keinginan dan tujuan dari rentetan
aksi protes mahasiswa pada tahun tujuh puluhan.
Sadar akan besarnya potensi kritis yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa rezim Orde Baru secara sistematis mulai melakukan kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan yang secara teoritis-praksis dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan polisi, atau penanam ideologi.
Sadar akan besarnya potensi kritis yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa rezim Orde Baru secara sistematis mulai melakukan kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan yang secara teoritis-praksis dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan polisi, atau penanam ideologi.
Untuk menjawab persoalan mendasar tersebut, PMII
memberikan pertimbangan beberapa pemikiran di bawah ini:
1. Mahasiswa perlu
mengembangkan pemikiran-pemikiran yang lebih kritis dan analitis dalam
menghadapi setiap persoalan masyarakat dan secara tajam memiliki kepekaan dalam
melihat dimensi di belakang munculnya realitas di masyarakat seperti nilai,
kepentingan, dan kekuasaan.
2. Mahasiswa perlu
meningkatkan kepekaan dan kepeduliaan sosialnya, yakni sadar akan siapakah yang
diuntungkan oleh pemikirannya atau meningkatkan pemihakannya (para masyarakat
lapis bawah).
3.
Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh aktivis KAMI dan lainnya yang dulu
memimpikan hasil yang sukses dan konkrit dari perjuangan TRI-TURA dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan kenyataannya hasil dari perjuangan itu
semakin lama semakin menipis, berhubung dengan perbedaan-perbedaan motivasi dan
background dari kekuatan-kekuatan pendukung Orde Baru.
Selain itu, PB PMII mengeluarkan surat pernyataan yang
berisi protes terhadap pemerintahan saat terjadi pengadilan mahasiswa
(merupakan pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra
kampus).
Pada tahun 1974, ketika NU telah melakukan fusi politik
dengan partai-partai Islam lain dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan), maka
deklarasi Independensi (1972) di Malang juga merupakan pilihan sejarah yang
sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena memang
harus menegaskan visinya bukan sebagai bagian dari partai politik.
Selama kurun masa (80-90-an), kepengurusan di PMII dan
organisasi-organisasi mahasiswa ekstra lainnya semisal HMI, IMM, PMKRI, GMNI,
dan GMKI adalah alat, sarana sebagai batu loncatan untuk menduduki kursi-kursi
di KNPI yang didukung oleh pemerintah (Orde Baru). Nyata-nyatanya hanya
organisasi-organisasi pro-pemerintah yang pada akhirnya mendapatkan kursi di
KNPI dan selanjutnya kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak
akan mendapatkan tempat dalam kultur politik Orde Baru yang sangat nepotis .
Artinya, antrian menuju kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan
melalui strategi lain yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu
tatkala HMI yang menjadi (rival utamanya) selama ini justru sedang bermesraan
dengan rezim Orde Baru melalui politik ijo royo-royo, di mana lebih dari 300
orang anggota MPR RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama-sama organ-organ mahasiswa Forum
Cipayung minus HMI mendirikna sebuah forum bernama Forum Kebangsaan Pemuda
Indonesia (FKPI) sebagai bentuk keprihatinan atas mengentalnya politik aliran
di Indonesia yang ditandai dengan semakin massifnya kelompok-kelompok yang
tergabung di dalam ICMI dengan mengusung representasi Islam yang mayoritas di
dalam kekuasaan. Dengan dukungan Orde Soeharto, ICMI melakukan ekspansi ke
berbagai lini dengan mengusung isu Islamisasi, baik di sektor ekonomi dengan
mendirikan Bank Muamalat, di Media dengan mendirikan Republika yang diasumsikan
sebagai koran Islam, maupun permodalan dengan mendirikan BPR-BPR Syariah. Di
sektor ekonomi, isu yang diusung adalah kemandirian ekonomi umat dan anti cina,
sebagai kelompok yang dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap pemerintahan rezim Orde
Baru adalah gerakan mahasiswa dipenghujung dekade 1990-an, dimana PMII berdiri
di barisan paling depan dalam menghancurkan rezim Orde Baru, sebagaimana NU
juga berdiri di barisan paling depan dalam mengganyang PKI pada paruh kedua tahun
1960-an.
3. PMII Pasca Orde Baru (Era Reformasi)
Dimulai dengan kriris ekonomi 1997 yang melanda kawasan
Asia (termasuk Indonesia) menyebabkan situasi dalam negeri semakin runyam.
Pembangunan Orde Baru yang dikesankan berhasil ternyata rapuh akibat korupsi
dan anti demokrasi yang dipraktekkan
penguasa. Situasi semakin runyam dan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat terus
bergelora hingga mampu membuat banyak menteri Seoharto mengundurkan diri.
Demonstrasi besar-besaran yang diantaranya dipelopori oleh gerakan mahasiswa
itu menuntut Soeharto mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
kacaunya Indonesia dengana meneriakkan yel-yel revolusi. Peristiwa Tri Sakti
pertengahan Mei 1998 tentara menembaki mahasiswa. Huru-hara, pembakaran gedung,
pemerkosaan terhadap etnis China dan penculikan aktivos mewarnai peristiwa
tersebut dan membuat keadaan tambah kacau. Demonstrasi mahasiswa semakin tidak
bisa dikendalikan. Tuntutan revolusi terus menggema.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan
diri dan memberikan mandat kepada Habibie. Tahun 1998 menjadi babak baru
Indonesia dengan tumbangnya Orde Baru dan dimulailah masa reformasi. PMII
menjadi salah satu aktor utama dalam gerakan reformasi dengan sudah lama aktif
dalam gerakan rakyat melawan pemerintah yang korup dan menindas. Paradigma Arus
Balik Masyarakat Pinggiran yang dipopulerkan masa Sahabat Muhaimin Iskandar
(1994-1997) menjadi benar-benar mampu menggerakkan kader PMII di ranah gerakan
massa rakyat. Banyak kader PMII terlibat dalam pembelaan rakyat. Figur KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU sekaligus
tokoh penggerak Forum Demokrasi (Fordem) menjadi lokomotif gerakan anak muda NU
seperti PMII. Reformasi yang digerakkan membawa cita-cita demokratisasi,
supremasi hukum, perbaikan ekonomi, cabut dwi fungsi ABRI (sekarang TNI), adili
Soeharto dan kroni-kroninya.
Konsekuensi era reformasi adalah kebebasan berekspresi
yang menyentuh semua lini problem kehidupan masyarakat. Bukan hanya terbatas
pada persoalan bagaimana menyuarakan ketidak puasan kebutuhan hidup, namun
menjamah pada ideologi yang menjadi prinsip dan tuntutan hidup. Tidak sedikit
perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip perdamaian mewarnai layar kaca.
Bahkan yang lebih tragis tindakan-tindakan tersebut disandarkan pada ajaran
agama tertentu. Tidak hanya berhenti disana, cita-cita ideology yang tumbuh
menjamur pasca reformasi diformalisasikan dalam bentuk perjuangan partai dengan
tujuan untuk mengambil alih kepemimpinan Indonesia. Misalnya Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dengan cita-cita mengganti asas Negara Indonesia pada pada asas
Islam. Kenyataan demikian, ketika menengok pada sejarah penerimaan umat Islam
terhadap asas pancasila menjadi sebuah keresehan tersendiri. Di satu sisi,
ketika pergantian asas tersebut benar-benar terjadi, maka prediksi keutuhan dan
kesatuan bangsa Indonesia akan mendapatkan ancaman. Sedangkan disisi lain,
gerakan-gerakan yang dilakukan mulai dari penataan basis sampai pada koalisi
pendudukan antar parpol.
Di era reformasi pula, secara mengejutkan, dalam Sidang
Umum MPR, Oktober 1999, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi
Presiden RI ke-4. Naiknya Gus Dur sebagai Presiden di satu sisi membawa
kebahagiaan bagi PMII karena cita-cita gerakan reformasi yang PMII dan elemen
fordem suarakan bisa diwujudkan melalui jalur dalam istana, dan terbukti Gus
Dur melakukan itu seperti pemisahan TNI dan Polri, memberikan kemerdekaan
beragama, berbudaya dan berkeseniaan kepada etnis Tionghoa, menghukum para
koruptor, melakukan rekonsiliasi dengan para keluarga korban G 30 S PKI, dan
lawatan politik Gus Dur ke luar negeri untuk bertahannya NKRI dan pemulihan
ekonomi dan keamanaan dalam negeri. Namun, Gus Dur tidak bertahan lama, karena
pada Juli 2001, dalam Sidang Istimewa MPR melengserkan Gus Dur dari kursi
kepresidenan. Pada saat Gus Dur menjadi presiden, PMII tetap berada di jalan
yang benar untuk membela kebenaran demi kebaikan bangsa. Pada saat ini pula
paradigma PMII yang semula Menggiring Arus Masyarakat Pinggiran oleh Sahabat
Saiful Bahri Anshori (Ketua Umum PB PMII periode 1997-2000) diganti menjadi
Paradigma Kritis Transformatif. Hal itu bisa dilihat dari draft Materi Kongres
PMII ke-13 di Medan tahun 2000.
Di samping itu, era ini juga terjadi serangan aksi
terorisme dan kekerasan atas nama agama. Bom Legian, Marriot, Kuningan, Kuta
dan BEJ membuat keamaan Indonesia benar-benar menegrikan. Orang-orang agak
khawatir keluar rumah apalagi menginap di hotel milik asing. Isu yang diusung
dalam setiap aksi ini adalah melawan Amerika dan sekutunya. Era globalisasi
ternyata menjadi era pertarungan terbuka berbagai kelompok ideologi. PMII dalam
hal ini senantiasa mengampanyekan Islam Indonesia yang toleran dan moderat.
Situasi Indonesia memang mengalami banyak perubahan
mendasar, apalagi ketika dilakukan amandemen UUD 45 sampai empat tahap. Dan
tantangan globalisasi neo-liberalisme menjadi nyata dengan dimulainya
perdagangan bebas AFTA tahun 2003 dan ACFTA tahun 2010. PMII dituntut mampu
melakukan penataan ke dalam dan keluar sekaligus.
I. DAFTAR NAMA KETUA UMUM PB PMII
Berikut ini daftar nama-nama Ketua Umum PB PMII dari masa
ke masa sesuai dengan urutan periode tahun kepemimpinan:
1. Sahabat M. Mahbub Djunaidi (1960-1966) dua kali
2. Sahabat Zamroni (1966-1973) dua kali
3. Sahabat Abduh Paddare (1973-1977)
4. Sahabat Ahmad Badja (1977-1981)
5. Sahabat Muhyiddin Arubusman (1981-1985)
6. Sahabat Surya Dharma Ali (1985-1988)
7. Sahabat M. Iqbal Assegaf (1988-1991)
8. Sahabat Ali Masykur Musa (1991-1994)
9. Sahabat A. Muhaimin Iskandar (1994-1997)
10.
Sahabat Saiful Bahri Anshori (1997-2000)
11.
Sahabat Nusron Wahid (2000-2003)
12.
Sahabat A. Malik Haramain (2003-2005)
13.
Sahabat Hery Haryanto Azumi (2005-2008)
14. Sahabat M. Rodli Kaelani (2008-2010)
J. PENUTUP
Dari uraian panjang tersebut di atas jelaslah bahwa PMII
merupakan komunitas penting bagi bangsa ini. Maka, PMII dituntut harus mampu
tetap memberikan dharma bhaktinya kepada nusa, bangsa dan agama. Kritik
konstruktif dan mitra pembangunan yang cerdas terhadap pemerintah supaya
menjalankan pemerintahan dengan baik dan benar (kalau tidak bisa ya lebih baik
turun atau diturunkan), dan mendidik anggotanya untuk mandiri dan berani
bersaing dengan siapapun agar survive dalam percaturan kehidupan globalisasi
yang sangat kompetitif, menjadi agenda utama yang harus segera dilaksanakan.
Di
situlah, pendekatan Multilevel Strategi Kaderisasi yang ditempuh PMII menjadi
ikhtiar organisasi untuk mencetak kader-kader yang mampu percaya diri untuk
meraih keberhasilan cita-cita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar