Rabu, 25 Desember 2013

NDP




NILAI DASAR PERGERAKAN
 PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

MUKODIMAH

Berkat Rahmad Dan Hidayah Allah Swt.pergerakan mahasiswa islam Indonesia berusaha menggali sumber nilai dan potensi insane warga pergerakan untuk di modifikasi didalam tatanan nilai buku yang kemudian menjadi citra ideal yang di beri nama nilai dasar pergerakan (NDP).PMII.Hal ini dibutuhkan dalam memberikan kerangka, arti dan motifasi serta wawasa pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenaran terhadap apa yang akan dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi.
 
Insyaf dan sadar terhadap semua ini adalah keharusan bagi semua fungsionaris maupun anggota PMII memahami dan menginternalisasikan Nilai Dasar Pergerakan ini.baik secara perorangan maupun bersama.

    
BAB 1

ARTI.FUNGSI DAN KEDUDUKAN
  
1.  ARTI.

Secara essensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi Nilai ke-islaman dan ke-indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlusunnah Waljamaah yang menjiwai berbagai aturan.memberi arah dan pendorongan serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak. Islam mendasari dan menginspirasikan Nilai Dasar Pergerakan ini. Meliputi cakupan aqidah,syari’ah dan akhlak dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan islam tersebut. PMII menjadikan Aswaja sebagai pemahaman keagamaan yang paling benar.


2.  FUNGSI.

  1. LANDASAN BERPIJAK.
Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijaksanaan yang harus dilakukan.

  1. LANDASAN BERFIKIR.
Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan persoalan yang dihadapi.

  1. SUMBER MOTIFASI.
Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya.
              
                       
3.   KEDUDUKAN
1.          Rumusan nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII.
2.          Landasan dan dasar pembenar dalam berfikir, bersikap dan perilaku.    
                                                             BAB II
RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN
1.   TAUHID
      Mengesakan Allah merupakan nilai paling azasi yang dalam sejarah agama samawi telah dikandung sejak awal keberadaannya manusia.
      Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat – sifat dan perbuatan – perbuatannya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah dan memelihara alam semesta ini, Allah juga menanamkan ilmu pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah maha mengetahui, maha menolong, maha bijaksana, hakim maha adil, dan maha tunggal. Allah maha mendahului dan maha menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Keyakinan seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan dengan lisan dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekwensinya, pergerakan harus mampu melarutkan nilai – nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan merambah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkannya, pergerakan telah memillih Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.

2.  HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH (HABLUN MINALLAH)
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk sebaik – baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada menusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain.
Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fakir, kemampuan berkreasi, dan kesadaran moral. Potensi itulah yang yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, harus melaksanakan ketentuan – ketentuan-Nya. Untuk itu manusia dilengkapi kesadaran moral yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh kedalam kedudukan yang rendah.
Dengan demikian dalam kedudukan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola hubungan ini harus dijalani secara seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil mengabaikan yang lainnya. Sebab mamilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan dapat mengejawantahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan Allah juga jarus dijalani dengan ikhlas, artinya pola itu dijalani dengan mengharapkan ridho Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan kepada proses menjadi indan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah.
Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamis dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongan kepada Allah.
Dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan tentang kemahaan-Nya, yakni ke-Maha-an yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinya untuk menirukan fungsi ke-Maha-an-Nya itu. Sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah fitrah suci yang selalu memproyeksikan tentang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan tadzkir kepada-Nya manusia berarti tengah menjalankan fungsi Al-Qudus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah berarti memerankan fungsi Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al-Ghoniyyu. Demikian pula dengan peran ke-Maha-an Allah yang lain, Assalam, Al-Mukmin, dan lain sebagainya. Manusia dengan Anugerah akal dan seperangkat potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niat yang sungguh, akan memungkinkan manusia menggapai dan memerankan fungsi-fungsi Asmaul Husna.
Di dalam melakukan pekerjaannya itu, manusia diberikan kemerdekaan untuk memilih, menentukan dengan cara yang paling disukai. Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapat balasan yang setimpal dan sesuai dengan yang diupayakan, karenanya manusia dituntut untuk selalu menfungsikan secara maksimal kemerdekaan yang dimilikinya baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks kehidupan ditengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab perubahan dan perkembangan hanyalah milik-Nya, oleh dan dari manusia itu sendiri.
Sekalipun di dalam diri manusia di karuniai kemerdekaan sebagai esensi dirinya untuk menemukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu di pagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab perputaran itu semata-mata tetap dikendalikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, yang semua alam ciptaan-Nya ini, selalu tunduk kepada susunan-Nya / pada keharusan universal atau taqdir. Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha (ikhtiar) untuk menentukan nasibnya sendiri. Apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan keterbatasan-keterbatasannya, karena semua itu terjadi sesuai dengan Sunnatullah, hukum alam dan sebab akibat yang selamanya tidak berubah maka segala upaya harus disertai dengan tawakkal. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi lebih secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, Qonaah (menerima), karena disitulah Sunnatullah berlaku. Karena setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepada Allah.

3.  HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA (HABLUN MINANNAS)
Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruh-Nya kepada materi dasar manusia menunjukkan bahwa manusia berkedudukan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah.
Namun manusia sederajat dengan sesamanya, kesadaran moral dan keberaniannya untuk memikul amanat berat dari Allah. Tetapi penilaian tersebut disertai dengan mawas diri bahwa manusia dapat pula bersifat bodoh, ceroboh, tergesa-gesa, mementingkan diri sendiri, lalim dan ingkar dari tuntutan Ilahiyah, karena itu manusia harus berjuang untuk menunjukkan peran yang dicita-citakan dan kedudukan yang mulia.
Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki oleh manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia manusia adalah satu dan sebagai warga negara adalah sebangsa, sebagai mukmin manusia adalah bersaudara.
Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya, kecuali karena ketaqwaannya. Setiap manusia memiliki kekuranga dan kelebihan ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya, tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya.agar antara satu saling mengenal, selalu memadu antara kelebihan masing-masing untuk selalu saling kait-mengait atau setidaknya manusia saling berlomba dalam mencari dan endapat kebaikan.oleh karena itu manusia dituntut saling menghormati, kerja sama, tolong-menolong, menasehati, dan mengajak kepada kebaikan.
                   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar