Aswaja SEBAGAI MANHAJUL FIKR
Salamin-Dikalangan
anak muda NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan
PMII, diawal tahun 1990-an mulai ramai membicarakan “Aswaja”.
Pada mulanya
perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat perkembangan
intelektual masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan,
bahwa kemandegan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja
secara “Qod’I” (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar
sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang
menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun
(keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa
mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim
kiri dan kanan.
LATAR
KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama ini yang
kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah
aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam
praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf
mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita
mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu
simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang
sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita
tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab,
Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan
oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik
ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al
fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun
sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak
bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk
pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang
terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli.
Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang
arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan
sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian
rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa
Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan
manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan,
kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan
qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya
Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran
martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit
bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan
benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama
dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah ( peristiwa bani
saqifah ).
Perselisihan
internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus
berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan
menjadi sangat beragam. Ada
karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga
masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan
kekuasaan.
Unsur-unsur
perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu
bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya
Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur
yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau
menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini
ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya
Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar.
Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti
Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi
politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai
terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan
kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang
mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya
Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.
ASWAJA
SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari
latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang
ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini,
sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif
atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i.
Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan
bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara
doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu
karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh
karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak
elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus
dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan
tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa
al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh
ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan
langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan
datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit
ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq,
social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja
itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham
saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti
masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif,
kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan
budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan
jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran
diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti
yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan
kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi
berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth
(moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat
mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non
ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.
NILAI-NILAI
ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?
Dalam sejarah
tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil
mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir
rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada
sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti
tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter
lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut
barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam
di Indonesia.
Sun, 11 Jun 2006
02:07:42 -0700
|
Pengertian
Ahlussunnah wal Jama’ah
Dari segi bahasa,
ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan ahlul jama’ah
berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum
“Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang
menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya.
Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an
dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan
dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan
al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada
tahun 324 H dalam usia 64 tahun).
Menurut Dr. Jalal
Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah
Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah wal Jama’ah) mengandung dua konotasi,
‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik).
Dalam makna ‘âmm,
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan
kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah
(pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam.
Dr. Ahmad ‘Abd
Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar
mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran
yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya
sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
... وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا..
Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr: 7).
Dengan arti
seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah,
pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta
semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak.
Al-Ustadz Abu
al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib
al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia
mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah,
amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi
ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn)
serta ulama tashawuf (shûfiyyah).
Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah
menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah,
Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang
kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak,
dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan
sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan
lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah).
Ahmad Amin dalam
Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam istilah ahl al-sunnah
berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah
percaya terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih dan
menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah
umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan
khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih
terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari
8 (delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli
bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang
berdiri di bawah panji-panji Ahlussunnah wal Jama’ah. (4
Dua definisi ini
menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy) dan
definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah wal
Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau formal. Dalam
dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek
‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena terkait dengan
faktor historis.
Seperti
diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya
mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang bersifat relatif,
atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka pengertian Ahlussunnah
wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya.
Pengertian
substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah adalah paham yang
membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga paham akidah
Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang
melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari pada
naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya.
Dengan demikian,
pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang
setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashsh
daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab,
kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan
sunnah atau ajaran murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut
Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school. Di antara kelompok yang
berhasil melakukan pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari
(Asy’ariyah).
------
|
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII
Posted by; PMII
Komisariat Al-Khairat Pamekasan
Berkat rahmat dan
hidayah Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk
dimodifikasi di dalam tatanan nilai baku
yang kemudian menjadi citra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP)
PMII. Hali ini dibutuhkan di dalam memberikan kerangka, arti dan motivasi dan
wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja
yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan
maksud didirikannya organisasi ini.
Insaf dan sadar bahwa semua itu adalah kejarusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara orang perorang maupun bersama-sama.
Insaf dan sadar bahwa semua itu adalah kejarusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara orang perorang maupun bersama-sama.
BAB I
ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN
Arti :
Secara esensial
Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah wal jama’ah yang
menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan mendorong serta penggerak
kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam
mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan ini meliputi cakupan aqidah,
syari’ah dan akhlak dalam upaya kita memperoleh kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut,
PMII menjadikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang paling
benar.
Fungsi
:
Landasan
berpijak:
Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan.
Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan.
Landasan
berpikir :
Bahwa
NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadappersoalan-persoalan yang
dihadapi.
Sumber
motivasi :
Bahwa
NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan
nilai yang terkandung di dalamnya.
Kedudukan
:
Rumusan
nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai
aturan dan
kegiatan
PMII.
Landasan
dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku.
BAB
II
RUMUSAN
NILAI DASAR PERGERAKAN
1. TAUHID
Meng-Esakan Allah
SWT, merupakan nilai paling asasi yang dalam sejarah agama samawi telah
terkandung sejak awal keberadaan manusia.
Allah adalah Esa
dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan perbutan-perbuatan-Nya. Allah
adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah,
dan memelihara alam semesta ini. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing
dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha Menolong, Maha Bijaksana,
Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha Mendahului dan Maha Menerima
segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Keyakina seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan mermbah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan telah memiliki Ahlussunnah wal jama'ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.
Keyakina seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan mermbah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan telah memiliki Ahlussunnah wal jama'ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.
2. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Allah adalah
Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik
kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia di hadapan
ciptaan-Nya yang lain.
Kedudukan seperti
itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran
moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai
khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia
memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan
kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan
ketentuan-ketentauan-Nya. Untuk itu, manusia dilengkapi dengan kesadaran moral
yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan
yang rendah.
Dengan demikian,
dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan
manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai
khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola ini dijalani secara
seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil mengabaikan
yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada
kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia
tidak akan dapat mengejawentahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah.
Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah.
Dengan karunia
akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya, yakni
ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang
dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinyas untuk menirukan
fungsi ke-Maha-anNya itu, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah -
fitrah suci yang selalu memproyeksikan terntang kebaikan dan keindahan,
sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya,
Manusia berarti tengah menjalankan fungsi Al Quddus. Ketika manusia berbelas
kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah memerankan
fungsi Arrahman dan Arrahim. Ketikamanusia bekerja dengan kesungguhan dan
ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al
Ghoniyyu. Demikian pula dengan peran ke-Maha- an Allah yang lain, Assalam, Al
Mukmin, dan lain sebagainya. Atau pendek kata, manusia dengan anugrah akal dan
seperangkat potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niatyang
sungguh-sungguh, akan memungkinkan manusia menggapai dan memerankan
fungsi-fungsi Asma'ul Husna.
Di dalam melakukan
pekerjaannya itu, manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan
dengan cara yang paling disukai. 14) Dari semua pola tingkah lakunya manusia
akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai yang diupayakan, karenanya
manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal ke4merdekaan yang
dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks
kehidupan di tengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab perubahan dan
perkembangan hanyalah milikNya, oleh dan dari manusia itu sendiri.15)
Sekalipun di dalam
diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk menentukan
dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan,
sebab prerputaran itu semata-mata tetap dikendalaikan oleh kepastian-kepastian
yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana,yang semua alam ciptaanNya iniselalu tunduk
pada sunnahNya, pada keharusan universal atau takdir. 16 ) Jadi manusia bebas
berbuat dan berusaha ( ikhtiar ) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia
menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, manusia harus
berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil
karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan keterbatasan- keterbatasannya, karaena
semua itu terjadi sesuai sunnatullah, hukum alam dan sebab akibat yang
selamanya tidak berubah, maka segala upaya harus diserrtai dengan tawakkal.
Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus
selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak
fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan
lapang dada, qona'ah (menerima) karena disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya
setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepadaNya. 17
)
3. HUBUNGAN
MANUSIA DENGAN MANUSIA
Kenyataan bahwa
Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia menunjukan , bahwa manusia
berkedudukaan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah.
Memahami ketinggian
eksistensi dan potensi yang dimiliki manusia, anak manusia mempunyai kedudukan
yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia manusia
adalah satu dan sebagai warga negara manusia adalah sebangsa , sebagai mukmin
manusia adalah bersaudara. 18)
Tidak ada kelebihan
antara yang satu dengan yang lainnya , kecuali karena ketakwaannya. Setiap
manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri
seseorang tentang potensi kebaikannya , tetapi ada pula yang terlalu menonjol
potensi kelemahannya, agar antara satu dengan yang lainnya saling mengenal,
selalu memadu kelebihan masing-masing untuk saling kait mengkait atau
setidaknya manusia harus berlomba dalam mencaridanmencapai kebaikan, oleh
karena itu manusia dituntut untuk saling menghormati, bekerjasama, totlong
menolong, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan
bersama.
Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka bersikap
tersebut mengisyaratkan bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan
manusia. Manusia dituntut untuk memanfaatkan potensinya yang telah
dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru
manusia menyadari asal mulanya, kejadian, dan makna kehadirannya di dunia.
Dengan demikian
pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia
dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam hubungan dengan Allah, manusia dan alam
selaras dengan perekembangan kehidupandan mengingat perkembangan suasana.
Memang manusia harus berusaha menegakan iman, taqwa dan amal shaleh guna
mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan
itu sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing , berderajat,
berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk diperlukan kerjasama
yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog antar
sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus -menerus dilakukan sepanjang
sejarah.
Melalui pandangan
seperti ini pula kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara dikembangkan.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kerelaan dan
kesepakatan untuk bekerja sama serta berdampingan setara dan saling pengertian.
Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita
bersama :
hidup dalam
kemajuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah
keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan hubungan
antara muslim ddan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan
tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam sebagai
ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina
hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama
ummat manusia.Nilai -nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia
tercakup dalam persaudsaraan antar insan pergerakan , persaudaraan sesama Islam
, persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan sesama ummat manusia .
Perilaku persaudaraan ini , harusd menempatkan insan pergerakan pada posisi
yang dapatv memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan
persaudaraan.
4. HUBUNGAN
MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah
ciptaan Allah SWT. 19) Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.20) Alam juga
menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. 21) Berarti juga
nilai taiuhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam .
Sebagai ciptaan
Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam
bagi manusia , 22) dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka
manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam , bukan penghambaan
terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi
untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan
menegaskan dirinya. 23)
Perlakuan manusia
terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan
diarahkan kepada kebaikan di akhirat, 24) di sini berlaku upaya berkelanjutan
untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. 25) Sebab akhirat
adalah masa masa depan eskatologis yang tak terelakan . 26) Kehidupan akhirat
akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan
beramal shaleh. 27)
Kearah semua itulah
hubungan manusia dengan alam ditujukan . Dengan sendirinya cara-cara
memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada
umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan
antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk
mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini
haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan.
Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam
untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja
sama , tolong menolong dan tenggang rasa.
Salah satu hasil
penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka
memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia .
Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan,
dan hukum tertentu; karena alam ciptaan Allah buykanlah sepenuhnya siap pakai,
melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk
mendayagunakannya.
Namun pada dasarnya
ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Penguasaan dan
pengembangannyadisandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Ayat-ayat
tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaanNya. Untuk memahami dan mengembangkan
pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral,
potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu
diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistimatis terhadap
ayat-ayat Allah, mengembangkan pemahaman tersebut menjadi iptek, menciptakan
kebaruan iptek dalam koteks ke,manusiaan, maupun menentukan simpul-simpul
penyelesaian terhadap masalah-masalah yang ditimbulkannya. Iptek meruipakan
perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, terutama
digunakan untuk memudahkan kehidupan praktis.
Penciptaan,
pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit
dihindari. Jika manusia menginginkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan
kemakmuran bersama bukan sebaliknya. Usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut
menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan , kmanusiaan dan kedamaian.
Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup
manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid,
manusia dapat menempatkan diri pada derajat yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
Itulah Nilai Dasar
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
yang dipergunakan sebagai landasan teologis normatif, etis dan motivatif dalam
pola pikir, pola sikap dan pola perilaku warga PMII, baik secara perorangan
maupun bersama-sama dan kelembagaan. Rumusan tersebut harus selalu dikaji dan
dipahami secara mendalam, dihayati secara utuh dan terpadu, dipegang secara
teguh dan dilaksanakan secara bijaksana.
Dengan Nilai Dasar
Pergerakan tersebut dituju pribadi muslim yang berbudi luhur , berilmu,
bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya,
yaitu sosok ulul albab Indonesia yang sadar akan kedudukan dan peranannya
sebagai khalifah Allah di bumi dalam jaman yang selalu berubah dan berkembang ,
beradab, manusiwi, adil penuh rahmat dan berketuhanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar