Rabu, 25 Desember 2013

14 Seluruh ilmu tidak lebih dari penyempurnaan pemikiran sehari-hari.



Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan tapi hanya dapat dicapai dengan pemahaman.
Pendidikan adalah apa yang tersisa setelah melupakan semua yang dipelajari di sekolah.

Persamaan lebih penting bagi saya, karena politik hanyalah untuk saat ini, sedangkan persamaan untuk selamanya.
Rasa takut akan kematian adalah yang paling dibenarkan dari semua ketakutan, karena tidak ada risiko kecelakaan bagi seseorang yang sudah mati.

Satu-satunya hal berharga yang nyata adalah intuisi.
Seseorang mulai hidup ketika ia bisa hidup di luar dirinya sendiri.

Saya tidak pernah memikirkan masa depan akan segera datang.
Siapapun yang belum pernah melakukan kesalahan tidak pernah mencoba sesuatu yang baru.

Sejauh hukum matematika mengacu pada realitas, maka mereka tidak akan yakin, jika mereka yakin maka mereka tidak akan mengacu pada realitas.
Siapapun yang menetapkan dirinya sebagai hakim dari kebenaran dan pengetahuan, maka akan jadi bahan tertawaan.

Saya tidak tahu senjata apa yang akan digunakan pada Perang Dunia III, tetapi Perang Dunia IV akan menggunakan tongkat dan batu.
Tidak semua yang penting bisa dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung diperhitungkan.

Untuk ahli mengatur kawanan domba kita harus menjadi seekor domba.
Gravitasi tidak bertanggung-jawab atas orang yang jatuh cinta.

Kebahagiaan dalam melihat dan memahami merupakan anugerah terindah alam.
Kecerdasan tidak banyak berperan dalam proses penemuan. Ada suatu lompatan dalam kesadaran, sebutlah itu intuisi atau apapun namanya, solusinya muncul begitu saja dan kita tidak tahu bagaimana atau mengapa

Mencari kebenaran lebih bernilai dibandingkan menguasainya.
Hidup itu seperti naik sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak.

Sudah saatnya cita-cita kesuksesan diganti dengan cita-cita pengabdian.
Lebih mudah mengubah plutonium dari pada mengubah sifat jahat manusia

Akal sehat adalah kumpulan prasangka yang diperoleh di usia 18 tahun.
Dua hal yang tak terbatas: alam semesta dan kebodohan manusia, dan saya tidak yakin tentang alam semesta. 

Gravitasi tidak berpengaruh kepada mereka yang jatuh cinta.
Hal yang paling sulit untuk difahami di dunia ini adalah pajak penghasilan.

Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. 
Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.

Ilmu pengetahuan menjadi hal yang menakjubkan jika seseorang tidak harus mencari nafkah.
Jika A adalah sukses dalam hidup, maka A = X + Y + Z. X adalah bekerja, Y adalah bermain, dan Z adalah menjaga lisan.

Kelemahan sikap menjadi kelemahan karakter.
Kita tidak bisa memecahkan masalah dengan menggunakan cara berpikir yang sama ketika kita menciptakannya.

Misteri abadi dunia adalah komperehensifitasnya.
Rahasia kreativitas adalah mengetahui cara menyembunyikan sumber kreatifitas.

Satu-satunya hal yang mengganggu belajar saya adalah pendidikan saya.

Empat Landasan Ilmu Sosial




1.      Teori, bukan filsafat atau keimanan
2.      Regularitas (Keteraturan) Sosial
3.      Data Agregat, bukan Individual
4.      Bahasa Variabel

Teori bukan filsafat atau keimanan:
Ilmu ditandai dengan istilah logico-empirical yang artinya didasarkan pada dua hal: (1) logika atau penalaran rasional dan (2) pengamatan atas gejala empirik. Artinya, setiap hal dikatakan ilmiah kalau masuk akal dan bisa dibuktikan dengan apa yang diamati.  Teori berkenaan dengan aspek logika keilmuan sedangkan riset berkenaan dengan aspek pengamatan.
Teori sosial ilmiah berkenaan dengan apa yang senyatanya terjadi (what is), bukan apa yang seharusnya terjadi (what should be). Hal ini menjadikan ilmu sosial tidak memperdebatkan tentang nilai. Ilmu sosial tidak menunjukkan apakah kapitalisme lebih baik atau lebih buruk daripada sosialisme, kecuali diukur dari kondisi-kondisi tertentu yang telah disepakati sebelumnya, misalnya diukur dari pemberian kebebasan, kapitalisme lebih memberikan kebebasan daripada sosialisme.

Regularitas Sosial (Keteraturan sosial)
Asumsi dasarnya: kehidupan sosial sedinamis apapun adalah teratur, bukannya samasekali kacau atau acak. Asumsi keteraturan itu menjadi dasar bagi semua ilmu, namun dibandigkan dengan ilmu alam, ilmu sosial mempunyai kekhasan dan keterbatasan. Contoh: es mencair pada suhu tertentu, namun orang yang nampak alim ada yang berprofesi sebagai pencuri. Namun kalau mengamati sebagian besar orang yang nampak alim maka sebagian besar tidak pernah mencuri.
Ada tiga keberatan terhadap asumsi regularitas dalam ilmu sosial:
(1)   beberapa hal yang dianggap sebagai "keteraturan" merupakan hal yang nampaknya dibuat-buat (trivial). Misalnya "promosi jabatan yang adil meningkatkan moral prajurit." Ketika diteliti, prajurit yang lambat dipromosikan menganggap sistem promosinya tidak adil, dan prajurit yang dipromosikan cepat menganggap sistem promosi itu adil.
(2)   Kasus-kasus yang tercatat berlawanan dengan "keteraturan" itu menjadikan apa yang dianggap sebagai keterauran bukanlah benar-benar sebuah keteraturan;
(3)   Orang yang terlibat dalam "keteraturan sosial" itu sebenarnya bisa saja merusak keteraturan itu jika mereka mau (menyangkut adanya sikap atau attitude).

Data Agregat, bukannya Individual
Ilmuwan sosial lebih mempelajari pola-pola sosial daripada sifat-sifat individual. Keseluruhan pola-pola teratur itu mencerminkan adanya tindakan dan situasi yang bersifat agregat dari banyak individu. Sekalipun kadang kala ulmuwan sosial mempelajari motivasi (dorongan) yang mempengaruhi tingkah-laku seseorang, individu itu sendiri jarang sekali dijadikan obyek kajian ilmu soaial. Ilmu sosial tidak menghasilkan teori tentang seseorang, melainkan hanya mengenai hakikat kehidupan berkelompok (kehidupan sosial).
            Kadang kala keteraturan agregatif merupakan hal yang menakjubkan. Ambil contoh, laju kelahiran. Orang punya anak didasarkan pada rentang variasi alasan yang sangat lebar. Beberapa mengatakan bahwa itu kehendak orang tua mereka, beberapa mengatakan itu merupakan kesempurnaannya sebagai laki-laki dan wanita, beberapa karena ingin mempererat tali perkawinan, beberapa lagi karena "kecelakaan." Tetapi di luar semua perbedaan alasan mempunyai anak itu, secara keseluruhan laju kelahiran anak dalam suatu masyarakat menunjukkan angka yang konsisten dari tahun ke tahun. Jika tahun ini ada 19,1 anak lahir per seribu penduduk, maka tahun depan juga angkanya dekat dengan 19,1 per seribu, sekalipun angka laju kelahiran itu mungkin akan meningkat atau merosot dalam periode yang lama. Seandainya laju kelahiran di suatu masyarakat adalah 19,1 lalu 35,6 lalu 7,8 lalu 28,9 lalu 16,2 dalam waktu lima tahun berturut-turut, para demografer akan jatuh pingsan seketika!
            Dengan demikian, teori sosial berkenaan dengan tingkah-laku agregat, bukan tingkah-laku individual. Tujuan ilmu sosial adalah menjelaskan mengapa pola-pola agregatif tingkah-laku masyarakat sedemikian teraturnya bahkan ketika orang-orang yang termasuk di dalamnya berubah dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, ilmu sosial tidak berusaha menjelaskan tentang masyarakat itu sendiri, melainkan lebih bertujuan menjelaskan sistem sosial di mana masyarakat itu berkehidupan, yakni sistem yang menjelaskan mengapa masyarakat melakukan apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu elemen-elemen dalam sistem tersebut bukanlah masyarakat, melainkan variabel-variabel.

Ilmu Sosial ber-Bahasa Variabel
Ilustrasi: obyek seorang dokter adalah pasien. Jika si pasien sakit, tugas dokter itu  membuatnya sembuh. Tetapi seorang peneliti kesehatan obyeknya adalah penyakit. Mungkin melihat pada pasien yang sama, namun pasien itu relevan baginya hanya kalau dia menderita penyakit yang ditelitinya. Ini bukan berarti bahwa peneliti kesehatan tak peduli dengan orang sakit. Tujuan penelitiannya juga untuk melindungi semua manusia dari penyakit. Sebab kalau penyakit itu bisa dipelajarinya tanpa melihat pada pasien langsung (misalnya di lab) dia akan melakukan itu.
            Dengan analogi itu ingin dikatakan di sini bahwa ilmu sosial memuat studi mengenai variabel-variabel dan atribut-atribut yang menyusunnya. Teori-teori ilmu sosial dituliskan dalam bahasa variabel, dan menggambarkan masyarakat yang memuat variabel-variabel itu. (mengenai variabel akan dijelaskan lebih jauh di bab selanjutnya).

Sikap Ilmuwan
1.      Skeptical (Skeptis)
2.      Rival hypothesis (Hipotesis tandingan)

Ketika ada yang mengatakan bahwa A menyebabkan B, seseorang yang “berpikir sebagaimana seorang ilmuwan sosial” bertanya apakah hubungan itu benar-benar hubungan kausal (sebab-akibat). Adalah mudah untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu terhadap hasil-hasil penelitian orang lain, tetapi yang lebih penting adalah menanyakan kepada mereka mengenai hasil penelitian kita. Ada banyak alasan mengapa kita sebaiknya bersikap skeptis terhadap suatu pernyataan kausal, yang pada kesan pertama sepertinya merupakan pemikiran yang masuk akal. Kita membaca koran harian bahwa orang-orang Jepang makan lebih sedikit daging merah dan jumlahnya lebih sedikit yang terkena serangan jantung daripada orang Amerika Serikat. Mengamati  hal ini sendiri sangat menarik. Sebagai tambahan, penjelasan – terlampau banyak makan steak akan membawa lebih tinggi angka serangan jantung di Amerika Serikat – adalah masuk akal. Ilmuwan sosial yang skeptis menanyakan mengenai akurasi data (bagaimana kita bisa mengetahui tentang kebiasaan makan? Sampel apa yang digunakan? Apakah serangan jantung diklasifikasikan secara mirip di Jepang dan Amerika Serikat sehingga kita bisa membandingkan fenomena yang mirip?). Anggaplah bahwa datanya akurat, tapi tetaplah ada hal lain yang mungkin menjelaskan: Adakah variabel-variabel lain (perbedaan-perbedaan pola makan, ciri-ciri kondisi dasar genetik, gaya hidup) yang mungkin menjelaskan gejala tersebut? Bisakah kita secara tidak sengaja memutarbalikkan antara sebab dan akibat? Sangat sulit untuk membayangkan bagaimana dengan tidak mengalami serangan jantung akan menyebabkan seseorang makan lebih sedikit daging walau itupun mungkin. Mungkin orang kehilangan selera makannya terhadap hamburger dan steak pada waktu yang sudah terlambat dalam hidupnya. Jika ini kasusnya, mereka yang tidak mengalami serangan jantung (untuk alasan apapun) akan hidup lebih lama dan makan lebih sedikit daging. Fakta ini akan menghasilkan hubungan yang sama yang membawa para peneliti untuk menyimpulkan bahwa daging merupakan biangnya serangan jantung.
Tentunya bukanlah tujuan kita untuk mengetengahkan telaah medis seperti itu. Namun kita semata-mata menggambarkan bagaimana para ilmuwan sosial mendekati permasalahan penarikan kesimpulan: yakni dengan skeptisisme dan suatu perhatian bagi penjelasan-penjelasan alternatif yang mungkin bisa dikemukakan. Penarikan kesimpulan sebab-akibat (inferensi kausal) dengan demikian menjadi suatu proses di mana masing-masing konklusi menjadi suatu kondisi bagi penelitian lebih lanjut untuk mempertajam dan mengujinya. Melalui pemahaman suksesif itu kita mencoba semakin dekat dan semakin dekat pada penyimpulan kausal (sebab-akibat) yang tepat.

OPINI Publik



Peran Media dalam Membangun Opini Publik
KRITIK UNTUK MEDIA, PEMILU, PERAN MEDIA, Politik, aribicara Maret 17th, 2009

Disadari ataupun tidak media hingga detik ini masih dan mungkin akan terus menjadi penentu atau mungkin pencetus dari sebuah opini publik yang ada di masyarakat. Kita bisa melihat banyak fakta terkait hal ini.

Kita tentunya masih ingat bagaimana media dunia beberapa bulan yang lalu hampir disetiap pemberitaan menayangkan dan mencetak soal perang di Palestina. Seluruh negeri dipenjuru dunia pasti bisa melihat peristiwa serangan teroris di Gedung WTC amerika serikat beberpa tahun yang lalu. Semua membicarakan peristriwa ini.

Didalam negeri sendiri kita tentunya ingat peristiwa puncak era reformasi 1998 yang menggulirkan preseiden Soeharto saat itu dari kepemimpinannya selama 32 tahun lebih saat itu. Kita juga melihat bagaimana media mencatat dan menayangkan bencana terdahsyat abad ini yaitu Tsunami di  Aceh. Semua yang menyebarkan itu adalah Media.

Saat ini kampanye caleg dimana-mana dan hampir semua caleg dan juga calon presiden memanfaatkan MEDIA sebagai JURUS Ampuh untuk mempromosikan nama mereka dalam upaya mempengaruhi OPINI PUBLIK bahwa mereka memang layak untuk dipilih.

Disinilah yang saya maksud betapa peran MEDIA sangat VITAL dalam masalah ini. Saya yakin bahwa media saat ini benar-benar diuji sikap Objektif dalam pemberitaan dan mengkampanyekan suatu partai atau tokoh. Dan bukan hanya MEMPUBLIKASIKAN calon-calon yang hanya memiliki MODAL BESAR yang memberikan RUPIAH YANG BANYAK ke kantong-kantong MEDIA tersebut sehingga opini yang terbentuk di masyarakat adalah mereka yg sering muncul di Iklan maka terlihat mereka adalah yang terbaik.

Media dalam hal ini benar-benar mempunyai tanggung jawab yang sangat dan sangat besar dalam membangun opini Publik yang benar-benar Objektiv dan tidak hanya tertumpu pada sebuah NILAI keuntungan Rupiah mereka.

Dan hingga detik ini saya masih jarang mendengar MEDIA mengangkat seorang tokoh atau figur yang sebenarnya memang mempunyai kemampuan yang profesional dan berniat bekerja dengan hati yang tulus diangkat oleh MEDIA.

Yang kita lihat hingga detik ini adalah MEDIA hanya mengiklankan tokoh itu-itu saja yang saya berani JAMIN hanya YANG MEMBERI RUPIAHLAH yang oleh MEDIA iklankan secara periodik dan terus menerus sesuai Kontrak dan kesepakatan antara si Calon dan juga MEDIA itu sendiri.

Media Indonesia Khususnya harus belajar bagaimana Media Amerika membangun sebuah Opini Publik bahwa Obama memang yang terbaik diantara calon-calon yang lain. Dan akhirnya Opini Publik yg dibangun oleh media ini diikuti juga oleh suara mayoritas rakyat Amerika dan terpilihlah Obama sebagai Presiden Amerika saat ini.

Media Indonesia juga harus belajar bagaimana Media IRAN saat membuat opini Publik bahwa seorang AHMADINEJAD adalah seorang calon presiden yang benar-benar memikirkan rakyatnya. Bagaimana Media Iran saat itu meliput kesederhanaan seorang Ahmadinejad dalam kehidupan sehari-harinya.

Sehingga seorang dosen dan hanya seorang Ahmadinejad yang notabenya bukanlah seorang tokoh partai atau juga bukan pemain politik saat itu berhasil menumbangkan lawan-lawan Politiknya. Dan terpilihlah seorang Ahmadinejad yang saat terpilihpun masih hidup dengan kesederhanaanya dan semakin hari semakin memajukan negaranya.

Bagaimana dengan MEDIA di INDONESIA ???

Semoga saja MEDIA Indonesia akan terus memperbaiki peran pentingnya dalam masyarakat Indonesia dalam membangun sebuah Opini Publik yang benar-benar Objektiv dan membawa kemajuan dan perbaikan untuk negeri ini.

“Semoga saja MEDIA Indonesia bukanlah MEDIA yang BODOH dan MEMBODOHI PUBLIK hanya ingin mengeruk keuntungan dalam pesta demokrasi ini” !!!!

Dan tentunya dukungan masyarakat Indonesia sendiri juga jauh lebih ikut menentukan, karena kitalah penentu tertinggi dari kemajuan bangsa kita sendiri